Pages

Jumat, 27 April 2012

Potensi Pesantren Sebagai Sebuah Bentuk Pendidikan Non Formal


Alumni pesantren nantinya akan menjadi guru mengaji, orang yang dituakan, dan paling banter akan menjadi seorang modin atau seorang ustadz di kampung halamannya. Tunggu, pernyataan itu hanyalah potongan imajinasi saya sembilan tahun yang lalu. Saat selepas pendidikan sekolah dasar saya hendak dibawa ke sebuah tempat bernama pesantren oleh orangtua saya. Begitulah pandangan saya tentang pesantren waktu itu. Lantas, bagaimana dengan sekarang? Bagaiamana saya melihat pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan setelah enam tahun  menjadi bagian darinya dan kemudian tiga tahun menjadi alumni, apakah masih sama?

Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia. Demikianlah bunyi pasal 28 C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik indonesia Tahun 1945, menjelaskan bahwa pendidikan adalah hak dari setiap warga negara Indonesia. Muatan pasal tersebut selaras dengan apa yang diamanatkan oleh aliena empat pembukaan UUD 1945, Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Selanjutnya tentang hak mendapatkan pendidikan ditegaskan dalam Pasal 5 UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.
Meski hak memperoleh pendidikan sudah diatur dalam undang-undang, namun kenyataannya pendidikan belum menjangkau masyarakat Indonesia secara merata. Pendidikan menjadi semacam angan-angan belaka bagi sebagian masyarakat kita. Tidak sedikit dari masyarakat kita yang tidak mampu menuntaskan pendidikan formal, dan bahkan tidak bisa mengenyam pendidikan formal sama sekali. Ketidakterjangkauan biaya menjadi alasan menjauhnya pendidikan dari masyarakat ekonomi lemah.
Membincang tentang hak memperoleh pendidikan, tidak terlepas dari keberadaan pesantren di Indonesia. Berangkat dari pendidikan formal yang ternyata tidak menjangkau sebagian golongan masyarakat, akhirnya sebuah bentuk pendidikan bernama pendidikan non formal menjadi alternatif. Pendidikan non formal atau pendidikan luar sekolah tumbuh, berkembang, dan dibiayai oleh masyarakat. Pendidikan non formal menjadi semacam solusi akan kebutuhan masyarakat akan pendidikan yang tidak terpenuhi oleh pendidikan formal. Salah satu bentuk pendidikan non formal di indonesia adalah pesantren.
Pesantren sendiri sudah berkiprah di indonesia jauh sebelum masa kemerdekaan Indonesia. Bahkan menurut beberapa sumber, cikal bakal pesantren di Indonesia sudah ada pada masa walisongo, abad 25-16 di pulau jawa. Dan saat ini keberadaannya pun sudah menyebar di penjuru nusantara.
Pesantren sebagai salah satu bentuk pendidikan non formal memiliki kekhasan tersendiri. Selain fokusnya yang pada bidang keagamaan, sistem pendidikannya yang 24 jam pun menciptakan atmosfer tersendiri. Berbeda dengan pendidikan formal yang memberikan kepada siswa waktu 5-6 jam untuk belajar dan beraktivitas di sekolah, pesantren mengharuskan santri untuk menetap dalam lingkungan pesantren 24 jam selama masa nyantri. Dengan sistem seperti itu terjadi interaksi intensif dalam proses belajar antara kiai dengan santri serta santri dengan santri.
Kemudian kembali ke pertanyaan saya di awal tadi, bagaimana saya melihat pesantren saat ini? Apa yang bisa dilakukan alumni pesantren? Apakah alumni pesantren mampu melakukan ‘sesuatu’ selain menjadi ustadz di kampung halaman seperti yang saya sangkakan sembilan tahun yang lalu? Apakah selepas belajar di pesantren para santri akan mampu mengambil peran dalam usaha mencerdaskan bangsa demi kehidupan yang lebih baik?
Seperti yang diungkapkan di atas, pesantren adalah bentuk pendidikan yang khas. Dan pesantren pun mampu menghasilkan output yang khas pula, ya mereka yang disebut santri. Ada beberapa hal menarik yang para santri dapatkan dalam proses belajar di pesantren. Hal-hal tersebut setidaknya antara lain: kecerdasan spiritual, kemandirian, dan kemampuan bersosialisasi.
Kecerdasan spiritual didapatkan oleh santri melalui proses belajar-mengajar antara santri dengan kiai maupun asatidz, atau lebih dikenal dengan istilah ngaji. Rujukan keilmuannya pun cukup komprehensif. Meliputi inti ajaran dasar Islam itu sendiri yang bersumber dari al-Qur'an Hadis, tokoh-tokoh ideal zaman klasik seperti Imam Bukhari, Imam Turmudzi, serta tokoh-tokoh `ulama Jawa seperti Nawawi al-Bantani, Mahfudz al-Tirmidzi dan lain-lain. Melalui pembelajaran yang intensif, para santri digodok untuk menjadi generasi yang mumpuni dalam berbagai disiplin ilmu agama, antara lain ilmu tauhid, fiqih, ilmu alat (nahwu-shorof), dan lain-lain.
Kemandirian. Sistem pemondokan 24 jam yang mengharuskan para santri tinggal terpisah dari orangtua dan keluarga masing-masing, dikondisikan sedemikian rupa agar para santri selain belajar ilmu agama juga belajar untuk hidup mandiri. Pesantren menempa para santri--yang terdiri dari kanak-kanak hingga remaja—agar memiliki mentalitas yang tangguh.
Kemampuan bersosialisasi. Sebuah pesantren bisa menjadi sebuah miniatur masyarakat yang heterogen. Dalam sebuah pesantren, santri-santrinya tidak hanya berasal dari daerah tertentu saja. Sebuah pesantren menerima santri dari berbagai daerah di nusantara. Kondisi santri yang heterogen dan sistem hidup bersama 24 jam dalam sebuah pemondokan, menuntut para santri agar memiliki kemampuan bersosialisai yang baik dengan orang-orang yang mempunyai kultur dan karakteristik berbeda-beda. Kemampuan ini menjadi modal yang penting bagi santri ketika terjun dalam masyarakat yang sesungguhnya kelak.
Selain mentransfer ketiga kemampuan tersebut, pesantren hari ini pun tidak menutup mata akan kebutuhan akan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tidak sedikit pesantren yang menyediakan akses kepada para santrinya untuk mendalami berbagai disiplin ilmu modern serta teknologi. Kemampuan berbahasa asing pun tidak ketinggalan. Berbagai bahasa asing seperti Bahasa Arab, Bahasa Inggris, dan Bahasa Mandarin dipelajari di berbagai pesantren.
Berbekal hal-hal tersebut, keberadaan warga pesantren tidak bisa dipandang sebelah mata. Bahkan negara-negaralain di dunia pun menyadari potensi yang dimiliki pesantren. Salah satunya Jepang. Pada 24 januari hingga 4 februari pemerintah Jepang mengundang 11 ustadz pesantren Indonesia dalam rangka pendalaman rasa saling pengertin Jepang dan Islam Indonesia. Kedubes Jepang di Jakarta menuturkan bahwa kegiatan tersebut adalaha cara untuk mendorong saling pemahaman dan pertukaran antara Jepang dan Indonesia di bidang pendidikan dengan mengundang para guru pesantren, yang merupakan tokoh pemimpin dari berbagai wilayah di Indonesia. Pada 2012, program ini memasuki tahun ke-8 dan hingga penyelenggaraan yang ke-7 kalinya sebanyak 82 guru pesantren telah berkunjung ke Jepang. 
Pesantren hari ini bukan sekedar tempat untuk memperkaya ilmu keagamaan saja. Pesantren pun memiliki potensi dan andil dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa demi terciptanya masyarakat yang sejahtera.
Namun yang senantia harus diingat, bahwa sebagai bentuk pendidikan non formal, pesantren harus senantiasa melayani kebutuhan masyarakat akan pendidikan. Melayani masyarakat yang tidak mampu menjangkau pendidikan formal karena keterbatasan biaya. Dan jika pesantren ingin benar-benar melayani dan dicintai masyarakat, maka pesantren harus berani mengambil hal-hal yang baik dari apa yang tumbuh di masyarakat dan kemudian diperkaya dengan sentuhan-sentuhan yang sistematis dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sesuai dengan lingkungan masyarakatnya. Serta yang tidak kalah penting adalah keterjangkauan biaya. Jangan sampai sebuah pesantren menjadi semacam kaki tangan kapitalis yang hanya membuka pintu untuk masyarakat yang mempunyai modal besar saja.
Kemudian para santri yang merupakan output dari proses pembelajaran dari lembaga pendidikan  non formal bernama pesantren juga harus  memiliki tekad yang kuat untuk turut serta mencerdaskan kehidupan bangsa. Selepas nyantri, para santri seyogyanya turut mengambil peran dalam usaha mewujudkan kesejahteraan kehidupan masyarakat. Santri harus mempunyai semangat mengabdi dan keberpihakan pada masyarakat yang terpinggirkan.*

*dimuat di majalah sarung css mora ugm


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

Minggu, 08 April 2012

Suatu Senja Bersama Kakek*



Senja itu aku bertemu kakek. Rambutnya yang putih. Juga tongkat kayu yang terlampau setia mengiringi  langkahnya. Masih sama. Sedikit yang berubah. Tatapan matanya yang tajam, kini terlihat sayu. Sendu.
          Ingin sekali aku merengkuhnya erat. Hal yang sejak lama sangat kuinginkan. Kurindukan.
          Niatku urung. Kulihat kakek menghela nafas berat. Sesak. Kemudian ia membuka mulut keriputnya dan berucap, “Aku begitu mengkhawatirkanmu, Nak.”
          Setelah sekian lama tak bersua, itulah kalimat pertamanya untukku. Kukira kakek akan meluapkan kata-kata kerinduan. Kerinduannya kepadaku, sebagaimana aku begitu merindukanya selama ini.
          Mafhumkah ia bahwa aku sungguh menantikan kebijaksanaannya? Mengertikah ia bahwa aku sangat ingin melihat semangat baja yang termanifestasi di usia senjanya? Terkebih lagi, sadarkah ia bahwa aku betul-betul tak sabar menantikan kepiawaiannya merangkai cerita sarat makna, yang dahulu pernah menghiasi masa kanak-kanakku?
          Tapi, nyatanya kakek malah mengkhawatirkanku.
          “Aku begitu mengkhawatirkanmu, Nak.” Kalimat itu terucap lagi. Aku bingung. Tak mengerti.
          “Bagaimana aku tidak mengkhawatirkanmu, jika kau hidup di tengah-tengah kegilaan ini?!” tandasnya, seakan membaca kebingungan di kepalaku.
          “Ini semua gila. Bagaimana tidak? Saudara-saudaramu tidak segan-segan menggerogoti daging sesamanya. Memamah, menelan, dan celakanya mereka sangat menikmati itu semua,” lanjut kakek. Aku melihat nafasnya yang menyesak.
          “Sungguh ini tidak waras!” Suara kakek tiba-tiba meninggi. “Lihatlah para pemimpin tanah leluhurmu ini! Ternyata mereka tidak lebih dari babi-babi gendut yang sibuk menghisapi sari pati gemah ripah loh jinawi negeri ini. Mereka menimbunnya dengan begitu rapi dalam brankas rakasasa tak kasat mata. Lalu mereka menguncinya dengan sebuah gembok yang hanya bisa dibuka dengan sebuah kombinasi angka yang rumit. Angka-angka yang kemudian menjadi sebuah rahasia. Mungkin rahasia negara.”
          “Lebih mngenaskan lagi, ternyata para pemimpinmu itu terus-terusan khawatir. Bukan kekhawatiran atas rakyatnya. Sama sekali bukan. Mereka khawair harta mereka yang beronggok-onggok itu belum cukup untuk menyumpal mulut anak-cucu mereka kelak. Anak-cucu sampai tujuh turunan, mungkin lebih. Itulah wajah para pemimpin negerimu. Bagaimana aku bisa bertahan untuk tidak muntah bila melihat wajah ‘polos’ mereka? Menjijikkan sekali, bukan?” Mata sendu kakek berubah menjadi tatapan jijik. Aku diam, tidak berani mengomentari.
          “Tidakkah ulu hatimu tertusuk begitu dalam saat menyaksikan carut-marut negeri ini, Nak? Ketika pamong tanah kelahiranmu mengeruk segala kepunyaan rakyatnya, di saat yang sama anak bangsa ini saling mencibir, menghujat, dan menikam. Mereka menuding perbedaan sebagai akar dari segala masalah ini. Dengan pongahnya, mereka membenarkan golongannya dan tidak lupa menyalahkan golongan lain.” Aku melihat kepedihan dalam mata kakek.
          “Kalian bersaudara, seharusnya. Tapi kalian menafikan bahwa bangsa ini terlahir dengan berbagai suku, ras, keyakinan, dan khazanah kebudayaan. Kalian menutup mata bahwa Tuhan menciptakan perbedaan sebagai suatu rahmat untuk semua umat manusia, tanpa terkecuali.”
          “Aku begitu mengkhawatirkanmu, Nak.” Kakek mengucapkan kalimat itu lagi. “Berhati-hatilah. Aku tahu ini tidak mudah.”
          Sedetik kemudian aku tersentak. Aku terbangun dari lelapnya tidurku di suatu senja. Itu tadi mimpi. Ya, aku tahu itu. Bahkan aku sudah menyadarinya sejak kakek mengucap kalimat pertamanya tadi. Karena kakek sudah lama meninggalkanku.
          “Ah, hanya sebuah bunga tidur,” aku bergumam. Tetapi kemudian aku menyadari bahwa semua yang diucapkan kakek tadi bukan sekedar bunga tidur bagi negeri ini.(#)

#untuk Kakek yang tak pernah saya mengenalnya dan untuk Kakek yang telah mengajarkan banyak hal.
*dimuat di buletin MAHKAMAH fh ugm,


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer