Pages

Rabu, 21 Maret 2012

terimakasih




matur nuwun sanget buat mbak zasachi atas awardnya.
semoga semakin semangat blogging, :)




ini dia award dari mb zasachi




Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

Mereka yang Diculik*


Matahari masih malu-malu mengintai di ufuk timur sana ketika kulangkahkan kaki di jalanan ini. Sinar hangatnya menelusup dahan-dahan pohon mangga di kanan kiri jalan, kemudian jatuh membelai permukaan jalan yang dilapisi aspal ini.

Aku tersenyum menatap permukaan jalan yang kuinjak . Dulu jalan ini masih berupa tanah bercampur kerikil-kerikil, beberapa tahun yang lalu. Aku merasai kedua telapak kakiku. Ah, rasanya baru kemarin telapak kaki telanjangku menjejak jalanan tanah ini. Telapak kaki ini masih ingat betul rasa lembut tanah dan cubitan-cubitan kerikil-kerikil saat aku berlarian di jalanan ini, beberapa tahun silam. Kini tanah dan kerikil-kerikil itu tidak ada.

Aku terus menyusuri jalan ini. Sambil menghirup udara pagi pertamaku di tanah lahirku ini setelah beberapa tahun meninggalkannya. Ya, kemarin sore aku kembali menginjakkan kaki di desa tempatku lahir dan menghabiskan masa kecilku ini. Kembali dari tanah rantau di pulau seberang tempat menuntut ilmu.

Cukup lama aku meninggalkan desa kecil ini, dan sekarang keadaannya tidak sepenuhnya sama seperti dulu. Ketika aku meninggalkan tempat ini tiga tahun yang lalu, belum ada toko-toko yang menjual aneka barang berdiri kokoh di beberapa titik di kanan kiri jalan. Waktu itu hanya ada beberapa warung kecil saja. Waktu itu, di pinggir jalanan ini tak ada tiang-tiang besi yang berdiri dengan angkuhnya. Dan sekarang, di sepanjang jalan beberapa tiang listrik telah dipasang untuk kebutuhan listrik yang merata bagi seluruh warga desa ini. Aku bersyukur di dalam hati, pembangunan infrastruktur desaku ini cukup baik.

Oh, aku hampir lupa. Aku menyusuri jalanan ini bukan tanpa tujuan. Selain untuk menyesap udara segar pagi aku juga ingin pergi ke suatu tempat. Tempat yang tak bisa aku datangi tiga tahun terakhir ini. Tempat dimana aku menghabiskan hampir seperempat waktuku dalam sehari, beberapa tahun yang lalu. Ah, aku begitu merindukan tempat itu. Semoga tempat itu masih ada, semoga.

Aku membelok. Memasuki gang sempit yang diapit dua rumah. Tentu aku masih ingat betul siapa pemilik dua rumah ini. Pak Kordi dan Mbok Jah. Aku masih ingat betul, Mbok Jah selalu berteriak-teriak kesal begitu aku dan kawan-kawanku melewati gang ini sambil bersenda-gurau. Tertawa dengan berisiknya dan menurut Mbok Jah itu mengganggu tidur cucunya yang masih bayi. Tapi alih-alih diam, kami malah mengencangkan tawa kami sambil berlarian. Meninggalkan wajah kesal Mbok Jah di jendela samping rumahnya. Dan kami tak pernah kapok melewati gang itu, meski harus mendengar ocehan Mbok Jah. Aku tersenyum mengingat ulah usilku itu.

Aku terus berjalan hingga  tiba  di ujung gang. Aku berhenti, menarik nafas dan menghembuskannya pelan. Aku kembali melangkah dan mataku menatap lurus ke depan, penuh harap. Kurasakan tubuhku merinding. Rasa bahagia dan rindu menyeruak begitu menyadari tempat itu masih ada.

Ya, tempat ini. Sepetak lapangan tak terlalu luas yang berada di tengah desa. Mungkin bukan tempat yang istimewa bagi orang lain. Tapi bagiku dan teman-teman masa kecilku, tempat ini lebih istimewa dari taman mini indonesia indah di Jakarta sana. Tempat ini menyenangkan. Tempat kami melepas segala penat, menumpahkan gelak-tawa, tempat berbagi kesenangan dan kadang perseteruan-perseteruan kecil. Dulu tempat ini begitu istimewa bagi kami dan sampai sekarang aku masih menganggapnya istimewa. Karena tempat ini merekam begitu banyak kenangan.

Aku berdiri di tengah lapangan. Mengedarkan pandangan. Tempat ini masih sama. Di sisi kanan sana masih berdiri kokoh beberapa pohon jati yang meneduhkan lapangan. Kemudian dua pohon jambu itu masih berada di tempatnya seperti dulu, di pojok utara lapangan. Mereka tampak lebih kokoh sekarang, dan sedang memamerkan kuncup bunga-bunganya, bakal calon buah jambu. Dulu aku yang paling semangat berburu buah jambu di pohon itu.
Aku menghela nafas lega. Syukurlah, aku masih bisa menemukan tempat ini. Tapi, sebentar... Ada yang aneh dengan tempat ini sekarang. Kuedarkan pandanganku sekali lagi, memastikan.


Sepi.

Tempat ini begitu sepi. Hanya ada aku. Bagaimana bisa? Ini aneh.
Bentuk fisik tempat ini memang tak banyak berubah seperti yang terakhir kulihat tiga tahun lalu. Tapi bagaimana bisa tempat ini sesepi ini? Aku masih ingat betul setiap pagi dan sore hari tempat ini tak pernah sepi dari bocah-bocah kecil sampai para remaja. Mereka, termasuk aku dan kawan-kawanku selalu bermain dan meramaikan tempat ini, dulu. Di ujung sana adalah tempat para bocah bermain gobak sodor, egrang, lompat tali, kelereng . Di sisi pohon-pohon jati itu biasanya anak-anak bermain benteng atau petak umpet. Dan di sebelah sana adalah tempat para remaja desa bermain sepak bola.

Tapi sekarang? Semua sisi lapangan ini sepi. Tidak ada anak-anak yang bermain gobak sodor, lompat tali , benteng, kelereng, petak umpet, egrang, atau permainan lainnya. Tak ada para remaja yang bermain sepak bola. Dan aku juga baru sadar pohon jambu yang biasa dijadikan arena memanjat pun kini sepi. Kemana mereka?  Oh, apalagi di hari minggu pagi seperti ini. Hari libur sekolah. Tempat ini pasti ramai, dulu.

Ah, apakah aku salah menyangka hari? Apakah ini bukan hari minggu? Apakah anak-anak dan para remaja itu telah pergi ke sekolah sepagi ini? Aku membuka ponsel memastikan ini hari apa. Dan ternyata aku tak salah, ini memang hari minggu. Tapi kemana mereka?

Apakah tempat ini sudah tak menarik lagi bagi anak-anak dan remaja desaku ini? Atau ada sesuatu yang membuat mereka tidak bisa datang hari ini? Entahlah, kebingunganku tak terjawab.

Ah, tempat ini begitu istimewa bagiku dan kawan-kawan masa kecilku. Kami begitu akrab dengan tempat ini. Dari kecil hingga kami menginjak bangku sekolah SD, SMP, dan SMA kami anak-anak desa selalu bermain bersama di tempat ini. Tempat ini menyatukan kami. Tempat ini yang memberikan ruang kebahagiaan pada masa kecil kami. Tempat ini yang mengajarkan bagaimana indahnya kebersamaan, bagaimana perbedaan tidak menghalangi kami untuk bermain dan tertawa bersama...

Ah, begitu banyak kisah yang ingin kuceritakan tentang  tempat ini. Bagiku, tempat ini istimewa, dulu, sekarang, dan selamanya. Dan seharusnya sekarang tempat ini juga istimewa bagi anak-anak dan remaja desaku ini.
                        Akhirnya aku memutuskan untuk pulang saja. Ada kekecewaan mengganjal dalam dada. Ketika hendak berangkat ke tempat ini tadi, aku membayangkan betapa serunya anak-anak serta remaja desa sedang berkumpul dan bermain di tempat ini. Seperti yang aku dan kawan-kawanku lakukan dulu. Aku ingin melihat suka-cita itu. Aku ingin semacam bernostalgia. Tapi nyatanya tempat ini sepi.

            Kulangkahkan kakiku meninggalkan tempat ini dengan lesu. Aku berniat kembali ke rumah. Tapi setengah perjalanan lagi menuju rumah, aku berhenti dan berbalik arah. Tidak, aku tidak berniat kembali ke lapangan itu. Aku ingin ke tempat lain. Rumah Wulan dan Robi. Rumah mereka tak jauh dari lapangan itu.

            Wulan dan Robi dua bersaudara, mereka anak dari adik bungsu ibuku. Terakhir bertemu, mereka berusia sepuluh dan enam tahun. Dan aku ingat betul mereka berdua termasuk dari sekian bocah-bocah yang selalu bermain di lapangan itu. Ya, Wulan paling gemar bermain petak umpet dan lompat tali. Sedangkan Robi, dia paling semangat ketika menyelinap dan membuat rusuh permainan sepak bolaku dan kawan-kawanku.

            Wulan dan Robi pasti tahu sesuatu. Mereka pasti tahu mengapa pagi ini lapangan itu begitu sepi. Aku sampai di depan rumah mereka. Setelah mengucap salam dan mengetuk pintu, aku langsung membuka pintu dan masuk. Aku menuju ruang tengah.

            “Wah, mas Edho? Mas Edho pulang kampung. Jadi bener apa yang ibu bilang tadi,” ucap Wulan setengah berteriak. Gadis itu kemudian beranjak dari kursinya dan menyalamiku.

            “Iya. Kemarin sore nyampe rumah. Eh mana paman sama bibi?” Aku bertanya sambil duduk di sofa.

            “Ayah sama Ibu pergi kerumah Nenek pagi-pagi tadi,” jawab Wulan. Gadis belia itu kini kembali ke tempat duduknya tadi. Kemudian mengambil sebuah netbook dan memangkunya. “Oia, si Robi juga ada di rumah kok. Dia ada di kamar. Robiiii... Ada mas Edho nih. Dia udah pulang dari Sumatra loooh!” Wulan berteriak memanggil adiknya.

            “Wah, Mas Edho...! Oleh-olehnya dong, Mas. Hehehe...” Robi keluar kamar menujuku sambil cengengesan.

            “Wah, kau sudah besar Robi. Sayang sekali aku tadi ke sini nggak bawa sesuatu. Tapi di rumah ada oleh-oleh buat kalian berdua kok.” Aku mengacak-acak rambut Robi.

            “Asiiik!” Robi berteriak senang dan duduk di sebelahku.

            “Eh, hari minggu gini kok kalian di rumah aja? Nggak maen ke luar?” aku mulai mencari keterangan.

            “Ah, males Mas. Mending di rumah aja. Nge-tweet sama FB-an, seru!” jawab Wulan masih sambil memangku netbooknya. Kedua matanya tak lepas dari layar netbook itu.

            Keningku berkerut. Aku coba melongok ke arah layar netbook Wulan. Ah, kukira dia sedang mengerjakan tugas sekolah atau apa, ternyata dia sedang asyik dengan jejaring sosial.

            “Iya, Mas. Daripada capek-capek maen di luar mending di rumah aja. Maen game on line, nonton video, internetan. Asik lah pokoknya. Hehe.” Robi menambahkan sambil cengengesan.

            Lidahku kelu. Entah apa yang harus kukatakan kepada mereka.

          “Oh ya Mas, aku ke kamar dulu ya. Mau maen game online lagi. Mas, mau ikut?” Robi menawarlan sambil beranjak dari sofa. Aku hanya menggeleng dan dia langsung meluncur ke kamarnya.

            “Ehm, Wulan... Aku pulang dulu ya. Ntar salam ke paman dan bibi.” Aku pamit pulang. Rasanya campur aduk dan aku tak bisa berkata lebih dari ini.

            Wulan menoleh tanpa beranjak dari kursinya. “Kok cepet Mas? Nggak sarapan atau minum dulu?”

            Aku menggeleng.

            Keluar dari rumah Wulan, bukannya pulang ke rumah, langkah kakiku malah membawaku menuju lapangan itu lagi. Antara rumah Wulan dan lapangan itu hanya terpisah beberapa rumah saja.

            Kuedarkan pandanganku ke arah rumah-rumah di sepanjang jalan menuju lapangan. Kupelankan langkahku. Pandangan mataku masuk menyelinap ke dalam rumah-rumah itu melalui jendela atau pintu yang terbuka. Kuamati.

            Dari celah jendela atau pintu yang terbuka bisa kulihat dua atau tiga anak-anak dan remaja sedang asik melakukan sesuatu. Mereka duduk menghadap sesuatu, saling diam seperti sibuk sendiri-sendiri. Sesekali terdengar teriakan mereka. Terkadang teriakan kemenangan dan juga teriakan kekecewaan. Kemudian hening lagi, mereka sibuk sendiri-sendiri lagi.

            Sedang apa mereka? Kuhentikan langkahku. Kuamati lebih cermat. Terlihat mereka masing-masing duduk menghadap sebuah layar, terpampang gambar gerak warna-warni di layar itu. Ah, aku sadar. Mereka sedang asyik bermain game, ada juga yang sedang menjelajah jejaring sosial.

Aku menghela nafas dan melanjutkan langkah. Ya, mereka anak-anak dan para remaja itu sedang asyik bermain di rumah masing-masing. Bermain dengan layar ajaib di depan mereka. Entah sudah sejauh mana mereka telah tersedot ke dalam dunia ‘asing’ itu.

            Langkah kakiku sudah membawa diriku di lapangan itu lagi. Kemudian aku berjalan menuju pojok lapangan, tempat dua pohon jambu. Aku duduk bersandar pada salah satu pohon. Dadaku sesak.

            Kuhela sebuah nafas berat. Mataku menatap lekat-lekat ke depan. Dari posisi ini aku bisa melihat setiap sisi lapangan. Setiap sisi lapangan yang selalu penuh dengan keceriaan anak-anak dan remaja desa ini. Setiap sisi lapangan yang selalu dipenuhi canda-tawa  menggema. Itu dulu. Dan kenyataannya, kini hanya sepi yang sudi menemani lapangan ini.

            Ah, andai lapangan ini bisa berbicara, pasti kini ia sedang menangis. Meratapi anak-anak dan remaja desa ini yang telah diculik. Diculik oleh dunia ‘asing’ itu.(*)
[hanifadyputra, pernah dimuat di pmiigadjahmada.wordpress.com]

untuk mengenang suatu masa yang tak terlupakan.
ketika senyuman merekah tak mengenal musim.
saat tawa pecah tanpa melihat gundah.
saat kemurnian jiwa terpantul dalam beningnya cahaya mata.
saat di mana tak ada ruang untuk kemunafikan.
ketika semuanya begitu sederhana dan indah.

aku merindukanmu,
bermain dan tertawa bersama

masa kecil...

 


           



Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

Minggu, 18 Maret 2012

shocking gempa yang membuat kami panik kemudian tertawa

pagi ini seperti senin pagi biasanya. saya tidak bisa berlama-lama meringkuk di balik selimut selepas shubuh, karena  jam sembilan pagi ada kuliah hukum pajak
kuliah hukum pajak untuk kali keduanya (alias coba lagi).
mengulang mata kuliah bukanlah hal yg menyenangkan. sekelas dengan para adik tingkat. masuk dalam list angkatan tua. nomor presensi ada di bagian awal-awal (yg berimplikasi pada seringnya ditanya oleh dosen -___-). dan itu semua bukan hal yang membuat saya sujud syukur bahagia.

tapi saya toh tetap ngampus tadi pagi.
sampai di kelas, sang dosen baru datang 15 menit dari jadwal seharusnya.
kuliah pun dimulai, dan saya mulai mengantuk.
beberapa kali melirik jam dinding yang sepertinya baterenya mulai  habis. lambat benar waktu berjalan!
lima menit berlalu, dan saya masih mengantuk.
saya membolak-balik slide tahun kemaren saya, tanpa benar2 membacanya. berharap ini bisa mengusir rasa kantuk.

dan tiba-tiba kursi saya bergetar! lantai yang saya injak juga bergetar!

sial, ini gempa! dan saya sedang berada di ruang kuliah, di lantai tiga gedung IV FH UGM.

oke, tenang. ini bukan kali pertama saya mengalami sensasi gempa di kelas.
tapi tiba2 saya merasakan aura kepanikan di kelas. saya melihat ke depan. mendapati sang dosen spontan berlari tunggang langgang. tanpa memperdulikan apa2. meninggalkan kunci mobilnya, daftar presensi, juga meninggalkan kami para mahasiswa yg tercengangmelihat beliau.
ya, kami tercengang sekaligus panik.
beberapa detik kemudian, getaran gempa mulai mereda. dan kami sekelas mulai tertawa tak tertahankan.
mengingat kepanikan dosen kami tadi.
kami tertawa, dan beliau tak kunjung kembali ke kelas. beliau lari, pergi entah kemana.
saya berjalan ke luar jelas. melihat keadaan. saya tengok kelas2 lainnya tampak tenang2 saja.
hanya kelas kami yg 'kacau balau'. kelas lain masih tetap melanjutkan aktivitas belajar mengajar.

oke, kelas kami yg terlampau dramatis.

saya berharap  kuliah di kelas kami dibubarkan. :)
tapi ternyata beberapa menit kemudian sang dosen kembali masuk kelas lagi, dengan wajah berkeringat.
kami menahan tawa mati-matian.

dan kuliah pun dilanjutkan kembali. dan saya kembali mengantuk lagi dan beberapa kali melirik jam dinding yg jarumnya kembali melambat.

*********************************

kejadian gempa 'ringan' saat sedang berlangsung kuliah di kelas memang lumayan sering saya alami. Segala puji bagi Tuhan, dari sekian gempa itu tidak ada yang sampai menimbulkan kerusakan fisik atau korban luka.

mengingat gempa di kelas pajak tadi pagi, saya jadi teringat dengan peristiwa yg sama, sekitar  3 tahun yg lalu. saat semester pertama saya.
sore itu, tak lama setelah kuliah Pengantar Hukum Indonesia (PHI) dimualai, tiba2 kursi kami bergetar. layar LCD di depan kelas pun bergoyang-goyang. dan ibu dosen kami langsung berteriak, "gempa! gempa...!"
kami panik. ya kami mahasiswa baru dan ini kali pertama kami merasakan sensasi gempa di dalam kelas.
saat itu kami langsung menghambur keluar kelas. di koridor kelas kami mendapati mahasiswa2 dari kelas lain yg  juga sedang mengalami sensasi panic at the disco. hahahah.

**************

Mengais-ngais ilmu di bumi jogja memang seru. selain khazanah kebudayaannya yg eksotis dan lingkungan yg ramah, sensasi gempa juga turut memacu adrenalin saya.

oke, tidak ada yg tahu hari esok akan seperti apa. kami teguhkan niat menuntut ilmu di tanah rantau ini, dan Tuhan yg akan melindungi kami. :)





Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

Sabtu, 17 Maret 2012

binatang yang kehilangan 'kebinatangannya'

well sebenarnya saya ingin membuat postingan di malam minggu, tapi ternyata ini sudah minggu dini hari rupanya. :) oke, anggap saja ini masih sabtu malam minggu. :p

seharusnya malam ini menjadi malam yang penuh semangat mengingat besok tidak ada aktifitas yang disebut kuliah. :D
tapi yang terjadi malah saya mengalami semacam trance, kondisi antara sadar dan tidak. malas ngapa-ngapain, malas keluar, dan bahkan malas untuk tidur pula. karena itu lah saya menolak ajakan teman-teman untuk pergi ke Cak Nun (Ma'iyahan tiap tgl 17) dan tidak tertarik pula dengan ajakan karaokean. malam ini saya ingin sibuk tidak ngapa-ngapain alias do nothing. hhh... tidak produktif bgt ya, hahaha.

mungkin ini efek samping akibat aktifitas seharian yang melelahkan.

pergi ke kebun binatang. (*_*) tepatnya ke kebun binatang gembira loka jogja.

percaya atau tidak, tiga tahun lebih tinggal di jogja, baru kali ini saya bertandang ke markas para satwa itu. itu pun di luar rencana, mendadak. ckckkck.

ceritanya, siang tadi saya memutuskan pergi ke sekretariat Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII Komsat Gadjah Mada), karena di kontrakan sepi, garing. tidak ada makhluk selain saya (eh, mungkin ada makhluk lain? #celingak-celinguk).

sampai di sekre pmii, ternyata keadaannya tidak jauh beda. memang ada tanda-tanda kehidupan, tapi saya hanya mendapati kang shilah dan tyan. saya pun menonton tivi sambil menikmati makan siang yang merangkap sarapan, ketika datang teman saya, Happy. Mahasiswi jurusan Hama dan Penyakit Tanaman itu mengajak saya ikut pergi ke kebun binatang gembira loka. PMII Rayon Agro Gadjah Mada sedang mengadakan acara jalan-jalan, tujuannya Kebun Binatang Gembira Loka.
saya berpikir sejenak. dan yang ada di kepala saya adalah gajah, harimau, orang utan (standart banget :p).
oke, ini ajakan yg lumayan menarik. mengingat fakta bahwa sampai detik itu saya sama sekali belum pernah berkunjung ke kebun binatang.
hei, bukannya setiap jaman TK selalu ada rekreasi, dan salah satunya ke kebun binatang?
oke, tapi saya tidak pernah mengenyam bangku TK.


jadi saya pun menerima ajakan itu. saya mengajak si tyan dan happy mengajak si niswah.
kami pun berangkat ke TKP dengan motor. para anggota rayon agro lainnya rupanya sudah tiba di TKP lebih dulu.


gustiari, niswah, abid, ida, luluk, popon, tyan, deta, roman, hassan, dan happy (yg motret)
yeah, akhirnya sampai juga saya di kebun binatang.
oke, mungkin ini tampak udik, ini adalah kali pertama saya menginjakkan kaki di kebun binatang dan usia saya sudah kepala dua.
eh, kemana saja saya selama ini? hahah.

di area parkir saya mendapati bus-bus rombongan siswa-siswi TK. Siswa-siswi TK yang bisa jadi baru pertama kali ke tempat ini [seperti saya :'( ]

okeeeeeeeeeeee,,,
kami pun berkeliling. selama berjam-jam.
mendapati berbagai spesies fauna. mulai dari mamalia, aves, amphibi, reptil, dan ikan.

selain fakta bahwa itu adalah kali pertama saya melihat hewan2 secara live (selama ini saya hanya melihat ayam, kucing, dan kambing. ahhaha), saya mendapati satu hal. hewan-hewan dalam kebun binatang itu hmmm,,, tampak aneh menurut saya

ya, aneh. menurut saya binatang-binatang itu telah kehilangan 'kebinatangan' mereka. mereka seperti telah dicuci otak untuk bersikap dan berperilaku layaknya benda tontonan. dan itu membuat saya melihat tak lebih dari lukisan-lukisan yang bergerak. itu saja. tidak ada taste 'kebinatangan' mereka.


[kalo gak salah nih ikan namanya red water melon?
outlooknya memang fresh kayak water melon :D
nyari di selokan mataram ada gak ya? :p]
[siluman harimau putih sdg galau gara2 jomblo]

           















kemudian saya merenung, hal semacam ini juga bisa dialami oleh manusia. jika binatang-binatang itu telah kehilangan 'kebinatangan' mereka, pun demikian dengan manusia. ya, manusia pun tanpa sadar bisa berhenti menjadi manusia.
seperti binatang-binatang yang ada di gembira loka itu, yang telah berhenti menjadi binatang, menurut saya.

kemudian saya bertanya pada diri saya sendiri,
apakah saya tetap menjadi manusia. manusia yang memanusiakan diri sendiri dan memanusiakan manusia lainnya?
atu jangan-jangan saya adalah manusia yang telah berhenti menjadi manusia?
                                                                                                         

naga sedang memangsa abid sang ketua pmii rayon agro
burung maleo. telurnya bisa memenuhi dua telapak
tangan orang dewasa (ngebayangin gimana kalo dijadiin nasi telor :p)

oke,,, terlepas dari kebingungan-kebingungan saya seputar kebinatangan dan kemanusiaan, agenda jalan-jalan ke Kebun Binatang Gembira Loka tadi itu cukup berhasil me-refresh otak saya.
senang rasanya berkumpul dengan teman2 dari rayon agro (walau saya bukan dari agro alias intruder dan cuma saya yg angkatan 2009 #merasa sepuh -______-).
terima kasih untuk sahabat/i agro semuanya.
hari yg menyenangkan, walau harus diakhiri dengan bergelantungan di dalam TransJogja yg penuh sesak selama hampir satu jam. :p

sukses untuk pmii rayon agro gadjah mada!
semangat sahabat/i agro! :D

Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

Kamis, 15 Maret 2012

Jaipong di Bulan April (Tembang Kedua)

Kereta api yang membawa Jum pulang kembali ke Mojokerto terasa melaju begitu lambat. Suara roda kereta yang bergesekan dengan rel terdengar seperti sembilu yang mengiris-iris hati Jum. Jum pulang dengan segumpal luka yang berdenyut dan berkecambah di dadanya. Jum merasa sebagian jiwanya hilang terbawa asap kereta yang mengepul kemudian lenyap di udara.
          Dan selama tiga tahun terakhir ini, ia gantikan sebagian jiwanya yang hilang itu dengan menyayangi anak-anak didiknya. Ya, mereka bocah-bocah polos berseragam putih merah itu sedikit banyak telah menuntunnya untuk tidak terus terlarut dalam kesedihan.
          Kemudian pagi itu, saat sepucuk surat pemecatan datang kepadanya, sebagian jiwanya kembali terenggut. Jum merasa sebagian rohnya mencuat keluar dan hilang entah kemana.
          Jum sudah berusaha mendapatkan kembali separuh jiwanya yang hilang. Beberapa sekolah ia datangi. Berharap salah satu salah satu dari sekolah-sekolah itu berkenan menerimanya, menjadi seorang guru di sana. Ia ingin kembali menjadi seorang guru, guru kesenian. Ia sangat mencintai profesi itu. Tapi ia harus menelan kenyataan pahit. Tak satu pun pintu sekolah yang sudi terbuka untuknya. Apakah label koruptor yang dituduhkan kepadanya telah menyebar luas, secepat ini?
          Jum kemudian menyadari satu hal. Ternyata berita bohong yang dituduhkan kepadanya itu kini telah menjadi semacam fakta yang dipercayai oleh hampir setiap orang di kampungnya, dan bahkan sekolah-sekolah di desa tetangga pun ikut-ikutan memasukkannya ke dalam daftar hitam. Terang saja tak satu pun yang sudi menerimanya menjadi seorang guru. Jum menelan ludah pahit.
          Jum belum mengubur keinginannya untuk kembali menjadi guru. Sampai pada suatu hari, ia berniat menghabiskan minggu paginya dengan berjalan-jalan di seputaran alun-alun Mojokerto. Melepas penat yang dirasakannya bagai beton-beton ambruk dan menggelayut di kedua pundaknya.
          Ruas-ruas jalan Mojopahit yang sedang ia susuri begitu sesak. Puluhan remaja terlihat sedang berlari-lari kecil dalam koloni-koloni. Saling becakap satu sama lain dan sesekali tertawa. Tampak pula beberapa manula yang terlihat masih sehat tengah berjalan sambil menggerak-gerakkan tangan keriput mereka, mencari keringat. Tak sedikit pula pasangan bahagia bapak-ibu mengapit buah hati mereka.
          Ah, Jum jadi teringat anaknya. Tapi ini bukan saatnya cengeng. Bukankah ia datang ke tempat ini untuk mengisi kantung semangatnya yang layu, tidak untuk mengingat hal yang tidak menyenangkan. Ia pun mengalihkan pandangannya pada deretan aneka toko yang tampak dibuat sibuk oleh para pembeli. Beberapa pemuda bergitar terlihat keluar dari sebuah toko emas dengan raut muka masam. Secarik kertas yang tertempel di etalase toko bertuliskan ‘ngamen gratis’ itu rupanya yang menjadi penyebabnya. Jum tersenyum kecut.
          Kemudian mata Jum beralih pada sebuah toko bercat coklat pucat yang menjajakan beraneka ragam kue tradisional. Aneka kue dengan berbagai bentuk dan warna yang menggoda sengaja dipajang di etalase toko. Kue-kue itu seakan memanggil siapa saja yang lewat di depan toko, merayu mereka untuk berhenti dan mampir. Benar-benar meggiurkan. Jum sampai menelan ludah dibuatnya.
          Tanpa sadar, kaki Jum telah membawanya masuk ke dalam toko seluas 8 x 7 meter itu. Aroma semerbak harum aneka kue itu menyerang indera penciuman Jum. Jum kini sudah berada di depan deretan kue-kue yang menggugah seleranya. Ia tidak sendiri tentu saja. Cukup banyak penikmat minggu pagi di seputaran alun-alun Mojokerto yang’terjebak’ dalam toko itu, seperti Jum.
          Jum menyusuri deretan rak kaca tempat kue-kue itu duduk manis. Jum menimbang-nimbang kue apa saja yang akan ia beli. Ah, sepertinya sudah lama ia tidak merasakan perasaan seperti ini. Jum bahagia. Ia seperti gadis kecil yang disuguhkan dengan setumpuk kue beraneka bentuk, warna, dan rasa. Ia merasa tersedot dalam sebuah halaman buku dongeng, masuk ke dalam Negeri Kue.
          “Hei, Jum, Jumawarti, ya?” Sebuah suara tiba-tiba membuyarkan lamunan fantasi Jum.
Jum tergeragap dan segera menoleh ke si empunya suara tadi. Rasa kagetnya berubah menjadi perasaan bingung begitumelihat wajah asing orang yang menegurnya.
          “Ya?”  ucap Jum pelan sambil menerka-nerka siapa sosok perempuan asing di hadapannya ini.
          “Jum, ini aku Maryam. Siti Maryam teman SMA mu dulu. Kita duduk sebangku dan pernah dihukum Pak Sukisno gara-gara kompak lupa mengerjakan tugas bahasa Indonesia. Ingat?” Perempuan bernama Maryam itu membaca kebingungan di mata Jum.
          “Hah, Maryam?! Masya Allah...!” Jum menyadari siapa perempua di hadapannya ini dan segera memeluknya. Memeluk erat sahabat SMA nya yang telah lama tidak bersua.
          “Ah, bagaimana kamu bisa melupakan sahabatmu ini?” ucap Maryam setelah mereka melepaskan pelukan pertemuan mereka.
          “Aduh maaf, maaf... Kamu beda banget sekarang. Rambutmu yang dipotong pendek itu bikin aku pangling, tahu!” Jum tergelak. “Oia, kamu kok langsung bisa mengenaliku? Penampilanku masih sama seperti dulu, ya?”
          “Ya jelas bisa. Sorot matamu yang berbinar-binar saat melihat kue-kue lezat seperti tadi itu tidak akan kulupakan!” Maryam berkata demikian sambil menirukan ekspresi mata berbinar-binar Jum. Kemudian ia tertawa.
          “Ah, apa-apaan kamu ini!” Jurus cubitan kalajengking Jum mendarat di lengan Maryam dengan cepat.
          “Auw!” pekik Maryam sambil mengusap lengannya. “Ternyata kamu masih menguasai jurus cubitan kalajengking itu dengan baik, ya?” Dua perempuan itu kemudian tertawa.
          “Eh, apa kabarmu Jum? Dan hei, apa kamu masih aktif menari jaipong seperti saat kita bergabung dengan sanggar tari sekolah dulu?”
          “Jaipong, ya? Masih kok. Aku masih menari, tapi sebagai hobi saja. Kalau kamu?”
          “Ehm, nggak enak ah ngobrol di sini. Ke rumah budheku aja, yuk? Nggak jauh dari sini kok.” Maryam menggandeng lengan Jum. Mereka, dua sahabat lama itu terlihat seperti beberapa tahun yang lalu. Saat mereka masih mengenakan seragam putih abu-abu.
          “Eh, sebentar...! Aku mau beli kue dulu.” Jum memasukkan beberapa potong klepon, puthu ayu, dan onde-onde khas Mojokerto ke dalam kantong plastik yang telah disediakan, kemudian segera menuju meja kasir.
***
(to be continued)
*hanifjunaediadyputra
mohon kritik dan sarannya :)




Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

Senin, 12 Maret 2012

Wonderful Wening


Jika Hogwarts The School of Wizardy mempunyai seorang siswi aneh bernama Luna Lovegood, sekolah gue ini pun ternyata mempunyai seorang siswi aneh. Namanya Wening, Wening Nataningsih. Dan siswi aneh itu teman sekelas gue.
          Wening si cewek aneh, begitu biasanya gue memanggilnya. Tapi, predikat aneh yang gue sematkan kepadanya ini bukan karena gadis itu gemar berkata-kata di luar akal sehat seperti si Luna Lovegood. Namun gue menyebut Wening aneh adalah karena gadis itu memiliki satu hal yang sangat jarang dimiliki oleh remaja di Indonesia saat ini.
          Yeah, Wening memiliki sesuatu yang disebut dengan ‘mencintai lingkungan’. Lebih tepatnya, ‘amat sangat mencintai lingkungan’. Mencintai lingkungan jika hanya sekedar membuang sampah pada tempatnya itu masih biasa menurut gue. Belum bisa gue kategorikan aneh. Tapi cinta Wening terhadap lingkungan tidaklah biasa. Gadis itu benar-benar mencintai lingkungan. Ibarat cinta Romeo pada Juliet, Cinta Majnun pada Laila, cinta Samsul Bahri pada Sitti Nurbaya, dan juga cinta Sherk pada putri Viona. Intonya, Wening luar biasa mencintai lingkungan.
          Wening tidak suka jika ada yang membuang tissue  sembarangan. Wening akan murka jika ada yang iseng memetiki bunga atau dedaunan di taman sekolah. Bahkan dia pun tidak akan tinggal diam jika ada seseorang yang membuang bungkus permen tidak pada tempatnya.
          Tapi sebenernya gue beruntung dan patut bersyukur mempunyai seorang teman seaneh Wening ini. Kelas gue selalu tampak bersih, dia laksana petugas kebersihan teladan yang tidak akan membiarkan seonggok sampah pun mengotori ruang kelasnya. Selain itu, taman sekolah pun selalu tampak segar. Wening tidak pernah absen merawat segala macam tumbuhan yang ada di taman sekolah. Sampai Pak Kordi, sang tukang kebun sekolah pun merasa lahannya diserobot oleh si Wening.
          Kemudian keuntungan gue lainnya adalah gue bisa merasakan sensasi tersendiri setiap kali menggoda Wening. Maksudnya, gue bisa merasakan satu kepuasan tak terdefinisikan saat melihat wajah Wening yang merah padam gara-gara melihat gue dengan sengaja menghamburkan sobekan-sobekan kertas di seantero kertas, atau dengan dengan isengnya gue memetiki dedaunan dan bunga tanaman kesayangannya di taman sekolah. J
          Hmm, sebenarnya gue kasihan juga kalau melihat Wening dengan telatennya memunguti kertas-kertas yang gue hamburkan atau saat melihat perjuangannya merawat dan menyirami tanaman di taman sekolah.
          Tapi entahlah, gue nggak tahu kenapa rasa iba itu selalau saja terkalahkan oleh keinginan kuat gue untuk selalu menggoda Wening. Untuk selalu melihat ekspresi wajah marahnya, yang menurut gue tidak menyeramkan malah terlihat, hmm... lucu. Mungkin Tuhan telah menganugerakan kepada gue saraf usil dalam jumlah terlampau banyak? Mungkin saja. Buktinya setiap hari gue selalu ingin menggoda Wening. Seperti pagi ini. Saat gadis itu sedang serius memunguti kulit-kulit kacang yang tercecer di koridor kelas.
Glodak...!!!
Tong sampah itu jatuh terguling dan memuntahkan isinya. Kaki gue sengaja menyenggolnya.
          “Eh gue nggak sengaja...” Gue langsung memasang tampang innocent.
          “Kandiaaaaz! Lo lagi lo lagi! Dasar cowok pembuat onaaar!” jerit Wening dengan wajah merah padam.
          Gawat! Saatnya kabuuur!
***
          Bel pertanda jam istirahat sudah berdering dua menit yang lalu. Gue hendak melangkah keluar kelas saat terdengar keributan dari koridor kelas, Gue langsung menghentikan langkah di ambang pintu.
          “Aduh, Sam! Gue kan sudah bilang berkali-kali, jangan buang bungkus jajan sembarangan. Lo udah mencemari lingkungan, tahu!” Wening tampak memungut sebuah bungkus plastik yang tergeletak di lantai.
          Ckkckc... Rupanya si cewek aneh itu sedang mendebat Sam yang membuang bungkus wafer di koridor kelas. Heran. Jam istirahat seperti ini bukannya pergi ke kantin atau kemana lah, eh gadis itu malah meributkan sampah. Tapi sepertinya perseteruan Wening vs Sam bakalan seru. Gue intai ah...
          “Apaan sih lo?! Satu bungkus wafer nggak bakal merusak bumi kali! Lebay banget.” Sam alias Samantha si siswi centil kelas sebelah itu membela diri.
          “Itu kan pandagan subyektif lo. Sekarang coba bayangkan. Jika di bumi ini ada seribu orang yang berpikiran kayak lo, bisa-bisa bumi kita ini ketimbun sampah! Sampah itu akan memenuhi sungai-sungai. Dan jika hujan turun, sungai-sungai yang dipenuhi sampah itu tidak mampu menampung air hujan. Sungai pun meluap dan pada akhirnya yang terjadi adalah banjir! Apa lo mau? Dan itu hanya satu dari dampak kebiasaan membuang sampah sembarangan. Masih banyak hal mengerikan lainnya.” Wening berargumen panjang lebar. Sepertinya kelak dia akan menjadi duta lingkungan Indonesia.
          “Ah, lo hiperbolis. Sangat imajinatif!” bantah Sam, kesal. Wah, silat lidah ini sepertinya tak kalah seru dengan perdebatan di Indonesia Lawyer Club!
          “Aduh, lo keras kepala banget sih? Apa susahnya membuang sampah pada tempatnya? Toh tempat sampah sudah disediakan dimana-mana!” Wening tampak frustasi.
          “Hei hei, ada apa sih kok ribut-ribut gini?” Wow, si Nurul dan Diana berjalan mendekat. Semoga perdebatan mereka semakin memanas dengan kedatangan dua sahabat Wening itu. Haha.
          “Hei kalian berdua, urusin nih teman kalian yang super aneh!” semprot Samantha sambil melirik sinis ke arah Wening. Kemudian gadis itu pergi meninggalkan Wening dan kedua temannya. Nurul dan Diana tampak menenangkan Wening yang tidak terima.
          Yah, kok debatnya udahan? Padahal lagi seru-serunya. Ah, sepertinya gue harus turun tangan nih. Maksudnya, inilah saatnya gue menggoda si Wening. Hahaha. Gue segera banting setir menuju meja gue. Sepertinya di laci meja gue tadi ada sampah kertas dan bungkus permen.
          Aha! Memang benar sampah-sampah itu ada dilaci meja gue. Segera gue sambar dan sampah-sampah itu sudah berada di genggaman tangan gue. Oke, gue sudah mendapat senjata untuk menggoda Wening. Sekarang gue harus segera banting setir lagi, nyamperin si Wening di koridor kelas. Tidak lupa gue menyembunyikan senjata gue di balik pinggang. Biar surprise.
          “Halo teman-teman!” sapa gue saat sudah berada di depan Wening dan kedua sobatnya, Nurul dan Diana.
          Tiga cewek itu tidak membalas sapaan gue. Mereka malah memandang gue dengan tatapan penuh curiga. Stay cool Kandiaz...
          “Ngapain?” selidik Nurul sambil mengawasi arah belakang pinggang gue. Gawat! Sepertinya gadis ini sudah mencium rencana licik gue.
          “Ya mau menyapa kalian aja. Masa iya nggak boleh?” kilah gue sambil tersenyum sok manis.
          “Trus apa itu yang lo sembunyiin di balik pinggang lo?” tembak Nurul tepat sasaran. Gue langsung gelagapan. Sebaliknya, Wening, Nurul, dan Diana tampak tersenyum penuh kemenangan.
          “Lo mau ganggu Wening lagi, ya?” kejar Diana sambil berusaha melihat apa yang gue sembunyiin di balik pinggang. Gue langsung berkelit menghindar.
          “Lo suudzon banget ya?” kilah gue. “Gue kan cuma mau... mau buang sampah!” Gue langsung menghamburkan sampah kertas dan bungkus permen dalam genggaman gue ke hadapan mereka. Dan tidak lupa langsung kabuuur! Hwahahaha. Gue berlari menuju kantin dengan tawa penuh kemenangan. Meninggalkan tiga gadis yang menjerit-jerit, meneriaki nama gue.
***
          Huh! Akhirnya sampai juga gue di kantin sekolah ini. Puas banget rasanya habis menggoda si Wening. Gue langsung celingak-celinguk ke seantero kantin. Mata gue tertumbuk pada dua makhluk yang sedang asyik bercakap-cakap di salah satu sudut kantin. Alba dan Bonzy, teman se-iya se-kata gue.
          “Abis ngapain lo ngos-ngosan kayak gitu?” selidik Bonzy begitu gue duduk di sebelahnya.
          “Kabur dari si Wening!” jawab gue sambil mengatur nafas.
          “Lo itu. Nggak ada capeknya godain si Wening. Nggak kasihan apa?” protes Alba. Ah, bocah ini selalu saja berceramah bak ustadz kondang.
          “Yeah, anaknya aneh sih...” kilah gue sambil mengambil alih es jeruk Bonzy.
          “Tapi lo udah keterlaluan.” Alba tidak terima.
          “Betul, Sob! Lo kelewat sering menggoda Wening. Hmm, jangan-jangan sebenarnya lo naksir Wening ya?” tebak Bonzy sambil tersenyum penuh curiga.
          “Hmmm, sepertinya iya...” jawab gue, pelan. Alba dan Bonzy tampak terperangah, terutama si Alba.
          “Wah, jadi bener nih? Jadi kapan lo mau nembak dia?” tanya Bonzy penuh semangat.
          “Nembak jidat lo? Siapa juga yang naksir Wening? Tadi gue cuman becanda! Hahaaha.” Kilah gue sambil menjitak kepala Bonzy.
          “Ah, sial lo! Kirain benean suka Wening...”
***
          Well, akhirnya bel istirahat berbunyi juga. Anak-anak pada menghambur keluar kelas. Termasuk gue. Tapi baru saja gue melangkah keluar kelas, tiba-tiba ada yang menarik tangan gue. Nurul dan Diana. Apa-apaan ini?
          “Ikut kita sebentar!” Nurul menyeret gue masuk ke dalam kelas diikuti Diana yang kemudian menutup pintu. Eh, di kelas cuma ada kami bertiga. Perasaan gue jadi nggak enak.
          “Ada apa ini? Kalian mau nyekap gue?” tanya gue sambil duduk di salah satu kursi.
          “Kita mau ngomong sesuatu sama lo!” kata Diana, sungguh-sungguh.
          “Ya ngomong aja.” Gue penasaran dengan pa yang ingin dikatakan dua gadis ini.
          Nurul tampak menghirup nafas dalam-dalam sebelum akhirnya berkata, “Kandiaz, kenapa sih lo selalu mengganggu Wening? Dia pernah ada salah sama lo?”
          Gue menggeleng. “Nggak, dia nggak ada salah sama gue. Gue suka menggodanya karena dia aneh.”
          “Aneh? Oke, kalau lo menganggap Wening aneh tapi lo nggak harus terus-terusan mengganggu Wening, kan?” kata Diana dengan suara meninggi.
          “Nggak tahu. Gue nggak tahu kenapa gue selalu ngerasa seneng banget godain si Wening,” ucap gue. Yeah, memang pada kenyataaannya gue nggak tahu kenapa gue selalu bahagia saat menggoda Wening. Entahlah.
          “Apa? Nggak tahu?!” Nurul berteriak. “Lo pasti juga nggak tahu kan, kenapa Wening jadi bersikap, yeah yang lo sebut aneh itu?”
          Gue menggeleng pelan.
          Nurul menghirup nafas dalam kemudian mengehmbuskannya pelan, menenangkan emosinya. “Oke, gue akan ceritain ke lo. Lo masih ingatkan dengan bencana banjir yang melanda Mojokerto tahun 2004 lalu? Adik Wening hanyut saat itu. Dan ditemukan dalam keadaan meninggal.” Mata Nurul memerah. Gue terkesiap.
          “Kandiaz, lo juga nggak tahu kan, Wening selalu menangis setiap mengingat adiknya? Nggak tahu kan?! Lo egois, hanya mementingkan kesenangan lo sendiri!” bentak Nurul, emosional. Diana segera menenangkannya.
          Gue terpaku di tempat. Nggak bisa berkata apa-apa. Dada gue nyeri. Seperti ada sembilu menusuk-nusuk hati gue. Gue menyesal!
          “Terserah, kalau lo masih menganggap wening aneh! Asal lo tahu, Wening melakukan itu semua karena dia nggak mau ada bencana alam lagi. Mungkin lo anggap tindakannya itu berlebihan. Tapi dia hanya nggak mau ada korban lagi, seperti adiknya!” tandas Diana, tajam. Kemudian dia membimbing Nurul pergi meninggalkan gue sendiri di dalam kelas. Hati gue melepuh. Wening, maafin gue...*

(hanifjunaediadyputra)


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer