Pages

Senin, 12 Maret 2012

Tali Toleransi Mengendur, Bangsa Siap Hancur



Adalah bukan tanpa maksud, ketika Tuhan menciptakan Indonesia dalam bentuk kepulauan. Ribuan pulau berderet-deret dari Sabang sampai Merauke. Kondisi geografis yang seperti ini merupakan salah satu faktor pembentuk kemajemukan dalam masyarakat Indonesia. Terbentuklah beragam suku, ras, budaya, adat istiadat, bahasa, dan kemudian kepercayaan yang berbeda-beda di setiap daerah di wilayah Indonesia. Kemajemukan di banyak hal yang ada  bukanlah sesuatu yang buruk bagi negeri ini. Sebaliknya, merupakan kekayaan tersendiri bagi bangsa ini. Asalkan segala kemajemukan yang ada mampu hidup berdampingan secara damai dan saling menghargai.
             Para pejuang bangsa ini telah berhasil menyatukan segala kemajemukan yang ada dalam suatu kehidupan masyarakat yang damai. Sehingga terbentuklah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), setidaknya sampai 66 tahun terakhir ini.
 Sudah menjadi kewajiban kita sebagai bagian dari bangsa ini untuk terus menjaga persatuan NKRI. Namun yang terjadi adalah sebaliknya, ada sekelompok orang yang malah memunculkan percik-percik api perpecahan pada bangsa ini.

Tragedi Ahmadiyah: Jihad atau pelanggaran hukum agama dan hukum positif?
Tragedi Ahmadiyah adalah fenomena yang paling parah belakangan ini. Sekelompok orang yang menganut islam garis keras kembali berulah. Di Cikesik, sejumlah masa dengan atribut agama islam menyerang rumah-rumah warga Ahmadiyah. Mereka menyerang, melempari batu, menggunakan senjata tajam, dan membakar rumah serta segala sesuatu yang ada. Tak cukup sampai di situ, dalam tragedi itu mereka juga membunuh tiga warga ahmadiyah. Membela agama dari kesesatan mereka gunakan sebagai alas an pembenar atas segala tindakan bar-bar mereka.
Mereka, para perusuh itu berani membunuh dengan alasan bahwa warga ahmadiyah adalah sesat dan telah menyesatkan ajaran agama. Ironis sekali. Mereka yang juga manusia hamba Tuhan, berani mengobok-obok wilayah keimanana seseorang. Padahal masalah keimanan adalah urusan seorang hamba dengan Tuhannya, hablum minallah. Hanya Tuhan dan orang yang bersangkutan saja lah yang mengetahui keimanan masing-masing hamba, karena iman letaknya di dalam hati. Sama sekali tidak ada hak mereka-para penyerang-itu untuk mencampuri ranah keimanan seseorang.
Kemudian klaim mereka yang mengatakan bahwa warga Ahmadiyah telah menyesatkan agama islam adalah suatu pernyataan yang terlampau konyol. Para penyerang yang mengaku islam dan paling paham tentang islam itu, seharusnya tahu bahwa islam adalah agama yang suci. Islam tidak sesat dan tidak ada manusia yang bisa menyesatkannya. Selamanya, islam adalah agama yang suci. Allah sendiri yang menjaganya.
Para perusuh itu juga selalu beralasan bahwa perbuatan mereka adalah bentuk peneladanan terhadap perbuatan Nabi Muhammad. Mereka berdalih bahwa tindakan semena-mena mereka adalah bentuk jihad membela agama. Mereka menyamakan tindakan brutal mereka dengan peperangan yang dilakukan Nabi Muhammad. Pemahaman yang tidak tepat. Fakta membuktikan bahwa nabi memang berperang, tapi perang yang dilakukan adalah bentuk pertahanan diri terhadap pihak lain yang menyerang. Kemudian dalam 73 peperangan yang diikutinya, Nabi hanya satu kali membunuh lawan, yakni dalam perang uhud.
Para perusuh yang mengaku islam taat itu-entah berpura-pura tidak tahu atau memang tidak tahu akan hukum-telah dengan semena-mena merampas nyawa manusia. Membunuh manusia dalam agama islam sendiri adalah bukan suatu perkara remeh temeh. Membunuh manusia tanpa suatu alasan yang benar adalah salah satu dari dosa-dosa besar.

Dalam Al-Qur’an dijelaskan tentang hokum merampas nyawa manusia.
 “Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh (mukmin yang lain) kecuali karena tersalah (tidak sengaja). Dan barang siapa membunuh orang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekaan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu) kecuali jika mereka bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal ia mukmin, maka (hendaklah ia si pembunuh) memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Dan jika ia (si terbunuh dari kaum (kafir/non muslim) yang ada perjanjian damai antara mereka dan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Barang siapa yang tidak memoerolehnya, maka hendaklah ia si pembunuh berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai cara taubat kepada Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui dan MAha Bijaksana.” (Surat An-Nisa’ ayat 92)
“Dan barang siapa membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah jahannam, kekal ia di dalamnuya, dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya, serta menyediakan adzab yang besar baginya.” (Surat An-Nisa’ ayat 93).
Demikianlah betapa tegas Tuhan mengatur tentang maslah pembunuhan.
Tindakan para perusuh itu juga secara langsung menciderai hak-hak para warga Ahmadiyah sebagai warga negara dalam menganut kepercayaan dan beribadah. Padahal jelas dalam tata hokum positif kita kebebasan memeluk agama dan beribadat sesuai ajaran agama adalah suatu hak dari tiap warga Indonesia sebagaimna termaktub dalam UUD 1945 Pasal 29 ayat (2):
“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”

Ahmadiyah Qadian dan Ahmadiyah Lahore
Para perusuh itu menganggap ajaran Ahmadiyah telah melenceng dari syariat islam dan menyesatkan. Mereka menganggap Ahmadiyah telah menistakan agama islam. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah para perusuh itu benar-benar mengetahui dengan pasti bagaimana sebenarnya ajaran Ahmadiyah? Apakah mereka hanya terprovokasi dari mulut ke mulut kemudian langsung bertindak anarkis tanpa melakukan membuktikan fakta yang ada?
            Ahmadiyyah atau sering pula disebut Ahmadiyah, adalah Jamaah Muslim yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad (1835-1908) pada tahun 1889 di satu desa kecil yang bernama Qadian, Punjab, India. Mirza Ghulam Ahmad mengaku sebagai Mujaddid, al Masih dan al Mahdi.
Jemaat Ahmadiyah Indonesia adalah bagian dari Jamaah Muslim Ahmadiyah Internasional. Di Indonesia, organisasi ini telah berbadan hukum dari Menteri Kehakiman Republik Indonesia sejak 1953 (SK Menteri Kehakiman RI No. JA 5/23/13 Tgl. 13-3-1953).

Atas nama Pemerintah Indonesia, Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Jaksa Agung pada tanggal 9 Juni 2008 telah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama, yang memerintahkan kepada penganut Ahmadiyah untuk menghentikan kegiatannya yang bertentangan dengan Islam.
Fakta lain yang sepertinya luput dari perhatian para perusuh itu adalah bahwa terdapat dua kelompok Ahmadiyah. Keduanya sama-sama mempercayai bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah Isa al Masih yang telah dijanjikan Nabi Muhammad SAW. Akan tetapi dua kelompok tersebut memiliki perbedaan prinsip:
  1. Ahmadiyah Qadian, di Indonesia dikenal dengan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (berpusat di Bogor), yakni kelompok yang mempercayai bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang mujaddid (pembaharu) dan seorang nabi yang tidak membawa syariat baru.
  2. Ahmadiyah Lahore, di Indonesia dikenal dengan Gerakan Ahmadiyah Indonesia (berpusat di Yogyakarta). Secara umum kelompok ini tidak menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi, melainkan hanya sekedar mujaddid dari ajaran Islam.

Selengkapnya, Ahmadiyah Lahore mempunyai keyakinan bahwa mereka:
  1. Percaya pada semua aqidah dan hukum-hukum yang tercantum dalam al Quran dan Hadits, dan percaya pada semua perkara agama yang telah disetujui oleh para ulama salaf dan ahlus-sunnah wal-jama'ah, dan yakin bahwa Nabi Muhammad SAW adalah nabi yang terakhir.
  2. Nabi Muhammad SAW adalah khatamun-nabiyyin. Sesudahnya tidak akan datang nabi lagi, baik nabi lama maupun nabi baru.
  3. Sesudah Nabi Muhammad SAW, malaikat Jibril tidak akan membawa wahyu nubuwat kepada siapa pun.
  4. Apabila malaikat Jibril membawa wahyu nubuwwat (wahyu risalat) satu kata saja kepada seseorang, maka akan bertentangan dengan ayat: walâkin rasûlillâhi wa khâtamun-nabiyyîn (QS 33:40), dan berarti membuka pintu khatamun-nubuwwat.
  5. Sesudah Nabi Muhammad SAW silsilah wahyu nubuwwat telah tertutup, akan tetapi silsilah wahyu walayat tetap terbuka, agar iman dan akhlak umat tetap cerah dan segar.
  6. Sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW, bahwa di dalam umat ini tetap akan datang auliya Allah, para mujaddid dan para muhaddats, akan tetapi tidak akan datang nabi.
  7. Mirza Ghulam Ahmad adalah mujaddid abad 14 H. Dan menurut Hadits, mujaddid akan tetap ada. Dan kepercayaan kami bahwa Mirza Ghulam Ahmad bukan nabi, tetapi berkedudukan sebagai mujaddid.
  8. Percaya kepada Mirza Ghulam Ahmad bukan bagian dari Rukun Islam dan Rukun Iman, maka dari itu orang yang tidak percaya kepada Mirza Ghulam Ahmad tidak bisa disebut kafir.
  9. Seorang muslim, apabila mengucapkan kalimah thayyibah, dia tidak boleh disebut kafir. Mungkin dia bisa salah, akan tetapi seseorang dengan sebab berbuat salah dan maksiat, tidak bisa disebut kafir.
  10. Ahmadiyah Lahore berpendapat bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah pelayan dan pengemban misi Nabi Muhammad SAW.

Ahmadiyah Lahore, secara keyakinan tidak berebeda jauh dengan keyakinan masyarakat muslim Indonesia pada umumnya. Rukun islam dan rukun iman mereka sama. Tuhan mereka adalah Allah SWT dan Nabi mereka adalah Muhammad saw. Mereka pun percaya bahwa Nabi Muhammad adalah nabi terakhir.
Pertanyaan lain yang kemudian mengemuka adalah apakah para perusuh itu mengetahui dengan pasti termasuk kelompok Ahmadiyah yang mana warga Ahmadiyah yang mereka serang dan mereka bunuh itu? Apakah termasuk kelompok Ahmadiyah Qadian atau Ahmadiyah Lahore? Sepertinya mereka tidak memperhatikan  tidak memperdulikan itu. Mereka terlampau emosi, sebagai akibat pemahan terhadap agama yang kurang utuh. Sehingga terjadi bias antara mana ajaran agama mana yang hanya nafsu yang dibungkus sikap ‘sok religius’ mereka.
Adalah suatu kewajiban bagi pemerintah untuk segera mengambil sikap tegas atas peristiwa kekerasan dengan dalih ini. Mencari akar dari permasalahannya kemudian segera melakukan tindakan penyelesaian masalah. Bagaimana pun juga tidak ada satu pun agama yang mengajarkan kekerasan. Sedang, para perusuh itu membawa nama islam atas penyerangan mereka terhadap warga Ahmadiyah. Tidak hanya itu, di Temanggung sejumlah oknum juga mengganggu tempat peribadatan agama lain yang diakui undang-undang. Hal-hal semacam ini sangat rentan menimbulkan konflik horizontal dalam masyarakat Indonesia dan kemungkinan terburuk berujung pada disintegrasi NKRI.

Pemerintah (seharusnya) Bertindak Tegas
Salah satu hal yang seyogyanya pemerintah lakukan adalah menilik ulang fatwa sesat yang disematkan oleh Majelis Ulama’ Indonesia (MUI) kepada Ahmadiyah. Diakui atau tidak, pelabelan sesat terhadap Ahmadiyah tanpa diikuti sosialisasi alasan penjelas yang gamblang kepada masyarakat luas juga merupakan penyebab timbulnya kesalahpahaman berujung emosi brutal di kalangan sebagian masyarakat Indonesia. Perlu dipertimbangkan lagi, apakah bijak memberikan label sesat kepada kaum minoritas di negeri yang menjunjung Bhineka Tunggal Ika ini? Bukankah seharusnya kaum minoritas kita dilindungi?
Kemudian pemerintah juga harus tegas dalam menyikapi ormas-ormas beraliran keras yang katakanlah mendalangi tindakan-tindakan anarkis selama ini. Sebut saja Front Pembela Islam (FPI). Pemerintah bisa saja langsung membekukan dan bahkan kemudian membubarkan ormas yang bersangkutan. Untuk apa memelihara sesuatu yang pada akhirnya lebih banyak menimbulkan kemudlaratan? Sesuatu lebih sering memantik konflik yang bahkan mampu mengancam integritas bangsa ini. Mengenai pembekuan dan pembubaran ormas ini telah diatur dalam UU No 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Pasal 13 san 14 menyebutkan,
Pemerintah dapat membekukan pengurus atau pengurus pusat organisasi kemasyarakatan apabila organisasi kemasyarakatan melakukan:
    1. Kegiatan yang mengganggu keamanan dan ketertiban umum
    2. Menerima bantuan dari pihak asing tanpa persetujuan pemerintah
    3. Memberikan bantuan kepada pihak asing yang merugikan bangsa dan Negara
(pasal 13)
            Apabila organisasi kemasyarakatan yang pengurusnya dibekukan tetap melakukan kegiatan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 13, maka pemerintah dapat membubarkan organisasi yang bersangkutan. (pasal 14)
Berdasarkan peraturan di atas, jelas pemerintah dapat membekukan ormas FPI. Karena tak perlu diragukan lagi tindakan-tindakan anarkis FPI dapat mengganggu keamanan dan ketertiban umum. Kemudian jika setelah dibekukan, terntata FPI tetap melakukan tindakan anarkis, pemerintah bisa membubarkannya. Semuanya itu haruslah tetap berdasarkan prosedur yang sesuai.
Jika pada akhirnya nanti pemerintah benar-benar membubarkan FPI atau ormas lainnya, maka tidak cukup hanya sebatas melakukan tindakan pembekuan dan pembubaran ormas saja. Pemerintah juga harus bertanggung jawab terhadap pembubaran yang dilakukan. Dalam artian pemerintah juga harus memberikan sikap kepada para anggota ormas yang dibubarkan tersebut. Pemerintah perlu memberikan pengarahan-pengarahan kepada mereka untuk mengikis pemikiran-pemikiran yang tidak tepat yang selama ini ditanamkan dalam ormas tersebut. Pengarahan kepada para anggota ex-ormas ini dirasa perlu karena akan percuma jika membubarkan ormas tetapi benih-benih pemikiran itu tetap tumbuh dalam kepala para anggotanya. Jika pemerintah memang berniat mengilangkan pemikiran garis keras yang tidak dapat menghargai perbedaan, Ormas yang bersangkutan, yang merupakan wadah tetap dibubarkan dan disertai pelurusan pemikiran para anggotanya.
Kemudian pemerintah juga perlu membuka ruang dialog selebar-lebarnya antara Ahmadiyah dan masyarakat yang selama ini mempermasalahkan Ahmadiyah. Tentunya pemerintah haris turut andil dalam dialog ini, untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Dan yang tidak kalah penting, pemerintah harus menyuarakan kepada masyarakat luas akan pentingnya memiliki sikap toleran dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Perlu ditanamkan kesadaran akan pentingnya senantiasa menjaga kerukunan hidup bermasyarakat, menghargai segala perbedaan yang ada, dan lebih arif dalam menyikapi setiap permasalahan yang ada.
Tragedi Ahmadiyah ini sedikit banyak telah menunjukkan betapa sikap toleransi pada bangsa ini mulai terkikis. Sikap saling menghargai yang merupakan tali pengikat keberagaman bangsa Indonesia rupanya telah mengendur. Semoga saja Tuhan tidak ‘menyesal’ telah menciptakan Indonesia dalam keberagaman.(*)
Wallahu a’lam
Mari berdiskusi J

HanifJunaediAdyPutra
Mojokerto (dengan hujan angin-air-petir tiap sorenya), Awal Februari tahun lalu.





Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

0 komentar:

Posting Komentar