Pages

Kamis, 15 Maret 2012

Jaipong di Bulan April (Tembang Kedua)

Kereta api yang membawa Jum pulang kembali ke Mojokerto terasa melaju begitu lambat. Suara roda kereta yang bergesekan dengan rel terdengar seperti sembilu yang mengiris-iris hati Jum. Jum pulang dengan segumpal luka yang berdenyut dan berkecambah di dadanya. Jum merasa sebagian jiwanya hilang terbawa asap kereta yang mengepul kemudian lenyap di udara.
          Dan selama tiga tahun terakhir ini, ia gantikan sebagian jiwanya yang hilang itu dengan menyayangi anak-anak didiknya. Ya, mereka bocah-bocah polos berseragam putih merah itu sedikit banyak telah menuntunnya untuk tidak terus terlarut dalam kesedihan.
          Kemudian pagi itu, saat sepucuk surat pemecatan datang kepadanya, sebagian jiwanya kembali terenggut. Jum merasa sebagian rohnya mencuat keluar dan hilang entah kemana.
          Jum sudah berusaha mendapatkan kembali separuh jiwanya yang hilang. Beberapa sekolah ia datangi. Berharap salah satu salah satu dari sekolah-sekolah itu berkenan menerimanya, menjadi seorang guru di sana. Ia ingin kembali menjadi seorang guru, guru kesenian. Ia sangat mencintai profesi itu. Tapi ia harus menelan kenyataan pahit. Tak satu pun pintu sekolah yang sudi terbuka untuknya. Apakah label koruptor yang dituduhkan kepadanya telah menyebar luas, secepat ini?
          Jum kemudian menyadari satu hal. Ternyata berita bohong yang dituduhkan kepadanya itu kini telah menjadi semacam fakta yang dipercayai oleh hampir setiap orang di kampungnya, dan bahkan sekolah-sekolah di desa tetangga pun ikut-ikutan memasukkannya ke dalam daftar hitam. Terang saja tak satu pun yang sudi menerimanya menjadi seorang guru. Jum menelan ludah pahit.
          Jum belum mengubur keinginannya untuk kembali menjadi guru. Sampai pada suatu hari, ia berniat menghabiskan minggu paginya dengan berjalan-jalan di seputaran alun-alun Mojokerto. Melepas penat yang dirasakannya bagai beton-beton ambruk dan menggelayut di kedua pundaknya.
          Ruas-ruas jalan Mojopahit yang sedang ia susuri begitu sesak. Puluhan remaja terlihat sedang berlari-lari kecil dalam koloni-koloni. Saling becakap satu sama lain dan sesekali tertawa. Tampak pula beberapa manula yang terlihat masih sehat tengah berjalan sambil menggerak-gerakkan tangan keriput mereka, mencari keringat. Tak sedikit pula pasangan bahagia bapak-ibu mengapit buah hati mereka.
          Ah, Jum jadi teringat anaknya. Tapi ini bukan saatnya cengeng. Bukankah ia datang ke tempat ini untuk mengisi kantung semangatnya yang layu, tidak untuk mengingat hal yang tidak menyenangkan. Ia pun mengalihkan pandangannya pada deretan aneka toko yang tampak dibuat sibuk oleh para pembeli. Beberapa pemuda bergitar terlihat keluar dari sebuah toko emas dengan raut muka masam. Secarik kertas yang tertempel di etalase toko bertuliskan ‘ngamen gratis’ itu rupanya yang menjadi penyebabnya. Jum tersenyum kecut.
          Kemudian mata Jum beralih pada sebuah toko bercat coklat pucat yang menjajakan beraneka ragam kue tradisional. Aneka kue dengan berbagai bentuk dan warna yang menggoda sengaja dipajang di etalase toko. Kue-kue itu seakan memanggil siapa saja yang lewat di depan toko, merayu mereka untuk berhenti dan mampir. Benar-benar meggiurkan. Jum sampai menelan ludah dibuatnya.
          Tanpa sadar, kaki Jum telah membawanya masuk ke dalam toko seluas 8 x 7 meter itu. Aroma semerbak harum aneka kue itu menyerang indera penciuman Jum. Jum kini sudah berada di depan deretan kue-kue yang menggugah seleranya. Ia tidak sendiri tentu saja. Cukup banyak penikmat minggu pagi di seputaran alun-alun Mojokerto yang’terjebak’ dalam toko itu, seperti Jum.
          Jum menyusuri deretan rak kaca tempat kue-kue itu duduk manis. Jum menimbang-nimbang kue apa saja yang akan ia beli. Ah, sepertinya sudah lama ia tidak merasakan perasaan seperti ini. Jum bahagia. Ia seperti gadis kecil yang disuguhkan dengan setumpuk kue beraneka bentuk, warna, dan rasa. Ia merasa tersedot dalam sebuah halaman buku dongeng, masuk ke dalam Negeri Kue.
          “Hei, Jum, Jumawarti, ya?” Sebuah suara tiba-tiba membuyarkan lamunan fantasi Jum.
Jum tergeragap dan segera menoleh ke si empunya suara tadi. Rasa kagetnya berubah menjadi perasaan bingung begitumelihat wajah asing orang yang menegurnya.
          “Ya?”  ucap Jum pelan sambil menerka-nerka siapa sosok perempuan asing di hadapannya ini.
          “Jum, ini aku Maryam. Siti Maryam teman SMA mu dulu. Kita duduk sebangku dan pernah dihukum Pak Sukisno gara-gara kompak lupa mengerjakan tugas bahasa Indonesia. Ingat?” Perempuan bernama Maryam itu membaca kebingungan di mata Jum.
          “Hah, Maryam?! Masya Allah...!” Jum menyadari siapa perempua di hadapannya ini dan segera memeluknya. Memeluk erat sahabat SMA nya yang telah lama tidak bersua.
          “Ah, bagaimana kamu bisa melupakan sahabatmu ini?” ucap Maryam setelah mereka melepaskan pelukan pertemuan mereka.
          “Aduh maaf, maaf... Kamu beda banget sekarang. Rambutmu yang dipotong pendek itu bikin aku pangling, tahu!” Jum tergelak. “Oia, kamu kok langsung bisa mengenaliku? Penampilanku masih sama seperti dulu, ya?”
          “Ya jelas bisa. Sorot matamu yang berbinar-binar saat melihat kue-kue lezat seperti tadi itu tidak akan kulupakan!” Maryam berkata demikian sambil menirukan ekspresi mata berbinar-binar Jum. Kemudian ia tertawa.
          “Ah, apa-apaan kamu ini!” Jurus cubitan kalajengking Jum mendarat di lengan Maryam dengan cepat.
          “Auw!” pekik Maryam sambil mengusap lengannya. “Ternyata kamu masih menguasai jurus cubitan kalajengking itu dengan baik, ya?” Dua perempuan itu kemudian tertawa.
          “Eh, apa kabarmu Jum? Dan hei, apa kamu masih aktif menari jaipong seperti saat kita bergabung dengan sanggar tari sekolah dulu?”
          “Jaipong, ya? Masih kok. Aku masih menari, tapi sebagai hobi saja. Kalau kamu?”
          “Ehm, nggak enak ah ngobrol di sini. Ke rumah budheku aja, yuk? Nggak jauh dari sini kok.” Maryam menggandeng lengan Jum. Mereka, dua sahabat lama itu terlihat seperti beberapa tahun yang lalu. Saat mereka masih mengenakan seragam putih abu-abu.
          “Eh, sebentar...! Aku mau beli kue dulu.” Jum memasukkan beberapa potong klepon, puthu ayu, dan onde-onde khas Mojokerto ke dalam kantong plastik yang telah disediakan, kemudian segera menuju meja kasir.
***
(to be continued)
*hanifjunaediadyputra
mohon kritik dan sarannya :)




Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

8 komentar:

dhenok habibie mengatakan...

alurnya santai, bahasanya asyik.. jadi penasaran ama lanjutannya mas.. hanya saja tulisannya pake font yang normal saja dong, saya agak kesulitan mbacanya.. :)

salam untuk Jum yaa.. hehe

hanjeyputra mengatakan...

wah, terima kasih masukannya. sangat berarti & bermanfaat. :)
sip,sip,
next akan diperbaiki.

salam balik dari mbak Jum, :)

Anisayu Nastutik mengatakan...

ceritanya sangat bagus
buat rasa malasku terhunus
hanjurkan lah egoku mampus
semangatku kembali lurus

hanjeyputra mengatakan...

terimakasih mb anisa:)
segala puji bagi Tuhan... :) semoga bermanfaat.
terimaksih telah berkunjung. :)

zasachi mengatakan...

Ada award buat kamu, ambil di blog aku yaaa.....

Armae mengatakan...

Aku sukak bacanyaaa. Ditunggu kelanjutannya yaa.
Salam kenal :)

hanjeyputra mengatakan...

terimakasih banget mb zasachi buat awardnya ... :)

hanjeyputra mengatakan...

terimakasih armae :)
salam kenalllll :)

Posting Komentar