Pages

Senin, 05 Maret 2012

Jaipong di Bulan April (tembang pertama)

Beberapa jam yang lalu ia masih berada di tengah-tengah keramaian Bandara Juanda. Beberapa jam yang lalu ia masih mendengar teriakan-teriakan terakhir dari orang-orang terdekatnya. Beberapa jam yang lalu, sebelum akhirnya ia terdampar di sebuah tempat yang juga ramai ini. Di sebuah bandara. Bukan Bandara Juanda atau Soekarno Hatta, melainkan Narita International Airport. Sebuah bandar udara yang terletak di Narita, Prefektur Chiba, Jepang.
            Negeri matahari terbit. Sebelum ini tak pernah terpikirkan olehnya untuk menginjakkan kaki di negara yang pernah menjajah tanah airnya ini. Sama sekali tidak pernah. Bukan untuk menjenguk kerabat apalagi untuk menempuh pendidikan ia bertandang ke negeri ini. Ada satu alasan yang membawanya ke tempat ini. Menjadi TKW.
            Ia tersenyum kecut setiap mengingat kenyataan bahwa ia jauh-jauh pergi meninggalkan kampung halamannya adalah untuk menjadi tenaga kerja di negeri orang. Ia tidak pernah mencita-citakannya. Apalagi ia adalah seorang guru di sebuah sekolah dasar. Seorang mantan guru tepatnya.
            Ya. Jumawarti, perempuan 27 tahun itu seorang guru kesenian di sebuah sekolah dasar di kampungnya, Kedung Pring. Sebelum akhirnya ia dipecat secara menyakitkan sebulan yang lalu.
            Entah mengapa ia begitu lemah waktu itu. Ia terlarut dalam ketidakberdayaan ketika menghadapi fitnah yang ditimpakan kepadanya oleh wakil kepala sekolah, hingga ia tak melalukan pembelaan yang berarti. Semua itu terjadi begitu cepat dan menyakitkan.
            Semua telah usai, pikirnya waktu itu. Untuk kesekian kalinya ia kehilanagn apa yang sangat ia cintai. Kehilangan pekerjaannya. Dan yang paling menyakitkan adalah ia harus kehilangan anak-anak didiknya yang sangat ia sayangi. Ia sudah menganggap mereka seperti anak sendiri. Ngilu di dadanya kembali ia rasakan, seperti tiga tahun lalu. Saat Fayruz kecil, anak satu-satunya lepas dari rengkuhan kasihnya begitu saja. Laki-laki itu. Ya, laki-laki yang pernah menjadi suaminya itu merampas buah hati terkasihnya. Di luar dugaannya, Jum kalah dalam persidangan penentuan hak asuh anak. Entah keadilan macam apa yang diberikan oleh manusia-manusia bertoga itu kepadanya.
            Menyakitkan. Suami tiba-tiba menjatuhkan talak, kemudian memisahkan Jum dengan sang buah hati. Dan ketika semua telah terjadi, Jum merutuki dirinya yang begitu lemah sebagai seorang ibu. Ia hanya mampu menangis waktu itu.
            Tapi mungkin belum terlambat, pikir Jum kemudian. Dua hari setelah kepergian suaminya ke Madiun, Jum menyusul mereka ke kampung halaman mantan suaminya itu. Berharap ia akan mendapat belas kasihan dari sang mantan suami. Berharap ia dapat membawa pulang anaknya. Jum tak berhenti berdoa untuk itu.
            Dan yang terjadi adalah persendian kaki Jum serasa melepuh. Ia mendapati anak dan mantan suaminya sudah tidak ada di Madiun. Tetangga sebelah rumah hanya bisa memberi tahu bahwa mereka telah pindah rumah kemarin sore. Itu saja.
            Kereta api yang membawa Jum pulang kembali ke Mojokerto terasa melaju begitu lambat. Suara roda kereta yang bergesekan dengan rel terdengar seperti sembilu yang mengiris-iris hati Jum. Jum pulang dengan segumpal luka yang berdenyut dan berkecambah di dadanya. Jum merasa sebagian tubuhnya hilang terbawa asap kereta yang mengepul kemudian lenyap di udara.
 (to be continued...)
 *tulisan lama, saat jaman2 SMA. kebetulan pernah diikutkan sebuah lomba menulis cerpen yang diadakan oleh Universitas Negeri Malang, sekitar tahun 2007 silam.




Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

2 komentar:

Anonim mengatakan...

sepertinya cerita dengan pergolakan bathin yang seru nih,
ditunggu kelanjutannya.

hanjeyputra mengatakan...

terima kasih mb ysalma,,, :)
siip. ditunggu ya episode berikutnya. :)

Posting Komentar