Beberapa jam yang lalu ia masih berada di
tengah-tengah keramaian Bandara Juanda. Beberapa jam yang lalu ia masih
mendengar teriakan-teriakan terakhir dari orang-orang terdekatnya. Beberapa jam
yang lalu, sebelum akhirnya ia terdampar di sebuah tempat yang juga ramai ini.
Di sebuah bandara. Bukan Bandara Juanda atau Soekarno Hatta, melainkan Narita
International Airport. Sebuah bandar udara yang
terletak di Narita, Prefektur Chiba, Jepang.
Negeri matahari terbit. Sebelum ini tak pernah terpikirkan olehnya untuk
menginjakkan kaki di negara yang pernah menjajah tanah airnya ini. Sama sekali
tidak pernah. Bukan untuk menjenguk kerabat apalagi untuk menempuh pendidikan
ia bertandang ke negeri ini. Ada satu alasan yang membawanya ke tempat ini.
Menjadi TKW.
Ia tersenyum kecut setiap mengingat kenyataan bahwa ia jauh-jauh pergi
meninggalkan kampung halamannya adalah untuk menjadi tenaga kerja di negeri
orang. Ia tidak pernah mencita-citakannya. Apalagi ia adalah seorang guru di
sebuah sekolah dasar. Seorang mantan guru tepatnya.
Ya. Jumawarti, perempuan 27 tahun itu seorang guru kesenian di sebuah sekolah
dasar di kampungnya, Kedung Pring. Sebelum akhirnya ia dipecat secara menyakitkan
sebulan yang lalu.
Entah mengapa ia begitu lemah waktu itu. Ia terlarut dalam ketidakberdayaan
ketika menghadapi fitnah yang ditimpakan kepadanya oleh wakil kepala sekolah,
hingga ia tak melalukan pembelaan yang berarti. Semua itu terjadi begitu cepat
dan menyakitkan.
Semua telah usai, pikirnya waktu itu. Untuk kesekian kalinya ia kehilanagn apa
yang sangat ia cintai. Kehilangan pekerjaannya. Dan yang paling menyakitkan
adalah ia harus kehilangan anak-anak didiknya yang sangat ia sayangi. Ia sudah
menganggap mereka seperti anak sendiri. Ngilu di dadanya kembali ia rasakan,
seperti tiga tahun lalu. Saat Fayruz kecil, anak satu-satunya lepas dari
rengkuhan kasihnya begitu saja. Laki-laki itu. Ya, laki-laki yang pernah menjadi
suaminya itu merampas buah hati terkasihnya. Di luar dugaannya, Jum kalah dalam
persidangan penentuan hak asuh anak. Entah keadilan macam apa yang diberikan
oleh manusia-manusia bertoga itu kepadanya.
Menyakitkan. Suami tiba-tiba menjatuhkan talak, kemudian memisahkan Jum dengan
sang buah hati. Dan ketika semua telah terjadi, Jum merutuki dirinya yang
begitu lemah sebagai seorang ibu. Ia hanya mampu menangis waktu itu.
Tapi mungkin belum terlambat, pikir Jum kemudian. Dua hari setelah kepergian
suaminya ke Madiun, Jum menyusul mereka ke kampung halaman mantan suaminya itu.
Berharap ia akan mendapat belas kasihan dari sang mantan suami. Berharap ia
dapat membawa pulang anaknya. Jum tak berhenti berdoa untuk itu.
Dan yang terjadi adalah persendian kaki Jum serasa melepuh. Ia mendapati anak
dan mantan suaminya sudah tidak ada di Madiun. Tetangga sebelah rumah hanya
bisa memberi tahu bahwa mereka telah pindah rumah kemarin sore. Itu saja.
Kereta api yang membawa Jum pulang kembali ke Mojokerto terasa melaju begitu
lambat. Suara roda kereta yang bergesekan dengan rel terdengar seperti sembilu
yang mengiris-iris hati Jum. Jum pulang dengan segumpal luka yang berdenyut dan
berkecambah di dadanya. Jum merasa sebagian tubuhnya hilang terbawa asap kereta
yang mengepul kemudian lenyap di udara.
(to be
continued...)
*tulisan lama, saat jaman2 SMA.
kebetulan pernah diikutkan sebuah lomba menulis cerpen yang diadakan oleh
Universitas Negeri Malang, sekitar tahun 2007 silam.
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer
2 komentar:
sepertinya cerita dengan pergolakan bathin yang seru nih,
ditunggu kelanjutannya.
terima kasih mb ysalma,,, :)
siip. ditunggu ya episode berikutnya. :)
Posting Komentar