Pages

Jumat, 27 April 2012

Potensi Pesantren Sebagai Sebuah Bentuk Pendidikan Non Formal


Alumni pesantren nantinya akan menjadi guru mengaji, orang yang dituakan, dan paling banter akan menjadi seorang modin atau seorang ustadz di kampung halamannya. Tunggu, pernyataan itu hanyalah potongan imajinasi saya sembilan tahun yang lalu. Saat selepas pendidikan sekolah dasar saya hendak dibawa ke sebuah tempat bernama pesantren oleh orangtua saya. Begitulah pandangan saya tentang pesantren waktu itu. Lantas, bagaimana dengan sekarang? Bagaiamana saya melihat pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan setelah enam tahun  menjadi bagian darinya dan kemudian tiga tahun menjadi alumni, apakah masih sama?

Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia. Demikianlah bunyi pasal 28 C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik indonesia Tahun 1945, menjelaskan bahwa pendidikan adalah hak dari setiap warga negara Indonesia. Muatan pasal tersebut selaras dengan apa yang diamanatkan oleh aliena empat pembukaan UUD 1945, Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Selanjutnya tentang hak mendapatkan pendidikan ditegaskan dalam Pasal 5 UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.
Meski hak memperoleh pendidikan sudah diatur dalam undang-undang, namun kenyataannya pendidikan belum menjangkau masyarakat Indonesia secara merata. Pendidikan menjadi semacam angan-angan belaka bagi sebagian masyarakat kita. Tidak sedikit dari masyarakat kita yang tidak mampu menuntaskan pendidikan formal, dan bahkan tidak bisa mengenyam pendidikan formal sama sekali. Ketidakterjangkauan biaya menjadi alasan menjauhnya pendidikan dari masyarakat ekonomi lemah.
Membincang tentang hak memperoleh pendidikan, tidak terlepas dari keberadaan pesantren di Indonesia. Berangkat dari pendidikan formal yang ternyata tidak menjangkau sebagian golongan masyarakat, akhirnya sebuah bentuk pendidikan bernama pendidikan non formal menjadi alternatif. Pendidikan non formal atau pendidikan luar sekolah tumbuh, berkembang, dan dibiayai oleh masyarakat. Pendidikan non formal menjadi semacam solusi akan kebutuhan masyarakat akan pendidikan yang tidak terpenuhi oleh pendidikan formal. Salah satu bentuk pendidikan non formal di indonesia adalah pesantren.
Pesantren sendiri sudah berkiprah di indonesia jauh sebelum masa kemerdekaan Indonesia. Bahkan menurut beberapa sumber, cikal bakal pesantren di Indonesia sudah ada pada masa walisongo, abad 25-16 di pulau jawa. Dan saat ini keberadaannya pun sudah menyebar di penjuru nusantara.
Pesantren sebagai salah satu bentuk pendidikan non formal memiliki kekhasan tersendiri. Selain fokusnya yang pada bidang keagamaan, sistem pendidikannya yang 24 jam pun menciptakan atmosfer tersendiri. Berbeda dengan pendidikan formal yang memberikan kepada siswa waktu 5-6 jam untuk belajar dan beraktivitas di sekolah, pesantren mengharuskan santri untuk menetap dalam lingkungan pesantren 24 jam selama masa nyantri. Dengan sistem seperti itu terjadi interaksi intensif dalam proses belajar antara kiai dengan santri serta santri dengan santri.
Kemudian kembali ke pertanyaan saya di awal tadi, bagaimana saya melihat pesantren saat ini? Apa yang bisa dilakukan alumni pesantren? Apakah alumni pesantren mampu melakukan ‘sesuatu’ selain menjadi ustadz di kampung halaman seperti yang saya sangkakan sembilan tahun yang lalu? Apakah selepas belajar di pesantren para santri akan mampu mengambil peran dalam usaha mencerdaskan bangsa demi kehidupan yang lebih baik?
Seperti yang diungkapkan di atas, pesantren adalah bentuk pendidikan yang khas. Dan pesantren pun mampu menghasilkan output yang khas pula, ya mereka yang disebut santri. Ada beberapa hal menarik yang para santri dapatkan dalam proses belajar di pesantren. Hal-hal tersebut setidaknya antara lain: kecerdasan spiritual, kemandirian, dan kemampuan bersosialisasi.
Kecerdasan spiritual didapatkan oleh santri melalui proses belajar-mengajar antara santri dengan kiai maupun asatidz, atau lebih dikenal dengan istilah ngaji. Rujukan keilmuannya pun cukup komprehensif. Meliputi inti ajaran dasar Islam itu sendiri yang bersumber dari al-Qur'an Hadis, tokoh-tokoh ideal zaman klasik seperti Imam Bukhari, Imam Turmudzi, serta tokoh-tokoh `ulama Jawa seperti Nawawi al-Bantani, Mahfudz al-Tirmidzi dan lain-lain. Melalui pembelajaran yang intensif, para santri digodok untuk menjadi generasi yang mumpuni dalam berbagai disiplin ilmu agama, antara lain ilmu tauhid, fiqih, ilmu alat (nahwu-shorof), dan lain-lain.
Kemandirian. Sistem pemondokan 24 jam yang mengharuskan para santri tinggal terpisah dari orangtua dan keluarga masing-masing, dikondisikan sedemikian rupa agar para santri selain belajar ilmu agama juga belajar untuk hidup mandiri. Pesantren menempa para santri--yang terdiri dari kanak-kanak hingga remaja—agar memiliki mentalitas yang tangguh.
Kemampuan bersosialisasi. Sebuah pesantren bisa menjadi sebuah miniatur masyarakat yang heterogen. Dalam sebuah pesantren, santri-santrinya tidak hanya berasal dari daerah tertentu saja. Sebuah pesantren menerima santri dari berbagai daerah di nusantara. Kondisi santri yang heterogen dan sistem hidup bersama 24 jam dalam sebuah pemondokan, menuntut para santri agar memiliki kemampuan bersosialisai yang baik dengan orang-orang yang mempunyai kultur dan karakteristik berbeda-beda. Kemampuan ini menjadi modal yang penting bagi santri ketika terjun dalam masyarakat yang sesungguhnya kelak.
Selain mentransfer ketiga kemampuan tersebut, pesantren hari ini pun tidak menutup mata akan kebutuhan akan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tidak sedikit pesantren yang menyediakan akses kepada para santrinya untuk mendalami berbagai disiplin ilmu modern serta teknologi. Kemampuan berbahasa asing pun tidak ketinggalan. Berbagai bahasa asing seperti Bahasa Arab, Bahasa Inggris, dan Bahasa Mandarin dipelajari di berbagai pesantren.
Berbekal hal-hal tersebut, keberadaan warga pesantren tidak bisa dipandang sebelah mata. Bahkan negara-negaralain di dunia pun menyadari potensi yang dimiliki pesantren. Salah satunya Jepang. Pada 24 januari hingga 4 februari pemerintah Jepang mengundang 11 ustadz pesantren Indonesia dalam rangka pendalaman rasa saling pengertin Jepang dan Islam Indonesia. Kedubes Jepang di Jakarta menuturkan bahwa kegiatan tersebut adalaha cara untuk mendorong saling pemahaman dan pertukaran antara Jepang dan Indonesia di bidang pendidikan dengan mengundang para guru pesantren, yang merupakan tokoh pemimpin dari berbagai wilayah di Indonesia. Pada 2012, program ini memasuki tahun ke-8 dan hingga penyelenggaraan yang ke-7 kalinya sebanyak 82 guru pesantren telah berkunjung ke Jepang. 
Pesantren hari ini bukan sekedar tempat untuk memperkaya ilmu keagamaan saja. Pesantren pun memiliki potensi dan andil dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa demi terciptanya masyarakat yang sejahtera.
Namun yang senantia harus diingat, bahwa sebagai bentuk pendidikan non formal, pesantren harus senantiasa melayani kebutuhan masyarakat akan pendidikan. Melayani masyarakat yang tidak mampu menjangkau pendidikan formal karena keterbatasan biaya. Dan jika pesantren ingin benar-benar melayani dan dicintai masyarakat, maka pesantren harus berani mengambil hal-hal yang baik dari apa yang tumbuh di masyarakat dan kemudian diperkaya dengan sentuhan-sentuhan yang sistematis dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sesuai dengan lingkungan masyarakatnya. Serta yang tidak kalah penting adalah keterjangkauan biaya. Jangan sampai sebuah pesantren menjadi semacam kaki tangan kapitalis yang hanya membuka pintu untuk masyarakat yang mempunyai modal besar saja.
Kemudian para santri yang merupakan output dari proses pembelajaran dari lembaga pendidikan  non formal bernama pesantren juga harus  memiliki tekad yang kuat untuk turut serta mencerdaskan kehidupan bangsa. Selepas nyantri, para santri seyogyanya turut mengambil peran dalam usaha mewujudkan kesejahteraan kehidupan masyarakat. Santri harus mempunyai semangat mengabdi dan keberpihakan pada masyarakat yang terpinggirkan.*

*dimuat di majalah sarung css mora ugm

Minggu, 08 April 2012

Suatu Senja Bersama Kakek*



Senja itu aku bertemu kakek. Rambutnya yang putih. Juga tongkat kayu yang terlampau setia mengiringi  langkahnya. Masih sama. Sedikit yang berubah. Tatapan matanya yang tajam, kini terlihat sayu. Sendu.
          Ingin sekali aku merengkuhnya erat. Hal yang sejak lama sangat kuinginkan. Kurindukan.
          Niatku urung. Kulihat kakek menghela nafas berat. Sesak. Kemudian ia membuka mulut keriputnya dan berucap, “Aku begitu mengkhawatirkanmu, Nak.”
          Setelah sekian lama tak bersua, itulah kalimat pertamanya untukku. Kukira kakek akan meluapkan kata-kata kerinduan. Kerinduannya kepadaku, sebagaimana aku begitu merindukanya selama ini.
          Mafhumkah ia bahwa aku sungguh menantikan kebijaksanaannya? Mengertikah ia bahwa aku sangat ingin melihat semangat baja yang termanifestasi di usia senjanya? Terkebih lagi, sadarkah ia bahwa aku betul-betul tak sabar menantikan kepiawaiannya merangkai cerita sarat makna, yang dahulu pernah menghiasi masa kanak-kanakku?
          Tapi, nyatanya kakek malah mengkhawatirkanku.
          “Aku begitu mengkhawatirkanmu, Nak.” Kalimat itu terucap lagi. Aku bingung. Tak mengerti.
          “Bagaimana aku tidak mengkhawatirkanmu, jika kau hidup di tengah-tengah kegilaan ini?!” tandasnya, seakan membaca kebingungan di kepalaku.
          “Ini semua gila. Bagaimana tidak? Saudara-saudaramu tidak segan-segan menggerogoti daging sesamanya. Memamah, menelan, dan celakanya mereka sangat menikmati itu semua,” lanjut kakek. Aku melihat nafasnya yang menyesak.
          “Sungguh ini tidak waras!” Suara kakek tiba-tiba meninggi. “Lihatlah para pemimpin tanah leluhurmu ini! Ternyata mereka tidak lebih dari babi-babi gendut yang sibuk menghisapi sari pati gemah ripah loh jinawi negeri ini. Mereka menimbunnya dengan begitu rapi dalam brankas rakasasa tak kasat mata. Lalu mereka menguncinya dengan sebuah gembok yang hanya bisa dibuka dengan sebuah kombinasi angka yang rumit. Angka-angka yang kemudian menjadi sebuah rahasia. Mungkin rahasia negara.”
          “Lebih mngenaskan lagi, ternyata para pemimpinmu itu terus-terusan khawatir. Bukan kekhawatiran atas rakyatnya. Sama sekali bukan. Mereka khawair harta mereka yang beronggok-onggok itu belum cukup untuk menyumpal mulut anak-cucu mereka kelak. Anak-cucu sampai tujuh turunan, mungkin lebih. Itulah wajah para pemimpin negerimu. Bagaimana aku bisa bertahan untuk tidak muntah bila melihat wajah ‘polos’ mereka? Menjijikkan sekali, bukan?” Mata sendu kakek berubah menjadi tatapan jijik. Aku diam, tidak berani mengomentari.
          “Tidakkah ulu hatimu tertusuk begitu dalam saat menyaksikan carut-marut negeri ini, Nak? Ketika pamong tanah kelahiranmu mengeruk segala kepunyaan rakyatnya, di saat yang sama anak bangsa ini saling mencibir, menghujat, dan menikam. Mereka menuding perbedaan sebagai akar dari segala masalah ini. Dengan pongahnya, mereka membenarkan golongannya dan tidak lupa menyalahkan golongan lain.” Aku melihat kepedihan dalam mata kakek.
          “Kalian bersaudara, seharusnya. Tapi kalian menafikan bahwa bangsa ini terlahir dengan berbagai suku, ras, keyakinan, dan khazanah kebudayaan. Kalian menutup mata bahwa Tuhan menciptakan perbedaan sebagai suatu rahmat untuk semua umat manusia, tanpa terkecuali.”
          “Aku begitu mengkhawatirkanmu, Nak.” Kakek mengucapkan kalimat itu lagi. “Berhati-hatilah. Aku tahu ini tidak mudah.”
          Sedetik kemudian aku tersentak. Aku terbangun dari lelapnya tidurku di suatu senja. Itu tadi mimpi. Ya, aku tahu itu. Bahkan aku sudah menyadarinya sejak kakek mengucap kalimat pertamanya tadi. Karena kakek sudah lama meninggalkanku.
          “Ah, hanya sebuah bunga tidur,” aku bergumam. Tetapi kemudian aku menyadari bahwa semua yang diucapkan kakek tadi bukan sekedar bunga tidur bagi negeri ini.(#)

#untuk Kakek yang tak pernah saya mengenalnya dan untuk Kakek yang telah mengajarkan banyak hal.
*dimuat di buletin MAHKAMAH fh ugm,

Rabu, 21 Maret 2012

terimakasih




matur nuwun sanget buat mbak zasachi atas awardnya.
semoga semakin semangat blogging, :)




ini dia award dari mb zasachi


Mereka yang Diculik*


Matahari masih malu-malu mengintai di ufuk timur sana ketika kulangkahkan kaki di jalanan ini. Sinar hangatnya menelusup dahan-dahan pohon mangga di kanan kiri jalan, kemudian jatuh membelai permukaan jalan yang dilapisi aspal ini.

Aku tersenyum menatap permukaan jalan yang kuinjak . Dulu jalan ini masih berupa tanah bercampur kerikil-kerikil, beberapa tahun yang lalu. Aku merasai kedua telapak kakiku. Ah, rasanya baru kemarin telapak kaki telanjangku menjejak jalanan tanah ini. Telapak kaki ini masih ingat betul rasa lembut tanah dan cubitan-cubitan kerikil-kerikil saat aku berlarian di jalanan ini, beberapa tahun silam. Kini tanah dan kerikil-kerikil itu tidak ada.

Aku terus menyusuri jalan ini. Sambil menghirup udara pagi pertamaku di tanah lahirku ini setelah beberapa tahun meninggalkannya. Ya, kemarin sore aku kembali menginjakkan kaki di desa tempatku lahir dan menghabiskan masa kecilku ini. Kembali dari tanah rantau di pulau seberang tempat menuntut ilmu.

Cukup lama aku meninggalkan desa kecil ini, dan sekarang keadaannya tidak sepenuhnya sama seperti dulu. Ketika aku meninggalkan tempat ini tiga tahun yang lalu, belum ada toko-toko yang menjual aneka barang berdiri kokoh di beberapa titik di kanan kiri jalan. Waktu itu hanya ada beberapa warung kecil saja. Waktu itu, di pinggir jalanan ini tak ada tiang-tiang besi yang berdiri dengan angkuhnya. Dan sekarang, di sepanjang jalan beberapa tiang listrik telah dipasang untuk kebutuhan listrik yang merata bagi seluruh warga desa ini. Aku bersyukur di dalam hati, pembangunan infrastruktur desaku ini cukup baik.

Oh, aku hampir lupa. Aku menyusuri jalanan ini bukan tanpa tujuan. Selain untuk menyesap udara segar pagi aku juga ingin pergi ke suatu tempat. Tempat yang tak bisa aku datangi tiga tahun terakhir ini. Tempat dimana aku menghabiskan hampir seperempat waktuku dalam sehari, beberapa tahun yang lalu. Ah, aku begitu merindukan tempat itu. Semoga tempat itu masih ada, semoga.

Aku membelok. Memasuki gang sempit yang diapit dua rumah. Tentu aku masih ingat betul siapa pemilik dua rumah ini. Pak Kordi dan Mbok Jah. Aku masih ingat betul, Mbok Jah selalu berteriak-teriak kesal begitu aku dan kawan-kawanku melewati gang ini sambil bersenda-gurau. Tertawa dengan berisiknya dan menurut Mbok Jah itu mengganggu tidur cucunya yang masih bayi. Tapi alih-alih diam, kami malah mengencangkan tawa kami sambil berlarian. Meninggalkan wajah kesal Mbok Jah di jendela samping rumahnya. Dan kami tak pernah kapok melewati gang itu, meski harus mendengar ocehan Mbok Jah. Aku tersenyum mengingat ulah usilku itu.

Aku terus berjalan hingga  tiba  di ujung gang. Aku berhenti, menarik nafas dan menghembuskannya pelan. Aku kembali melangkah dan mataku menatap lurus ke depan, penuh harap. Kurasakan tubuhku merinding. Rasa bahagia dan rindu menyeruak begitu menyadari tempat itu masih ada.

Ya, tempat ini. Sepetak lapangan tak terlalu luas yang berada di tengah desa. Mungkin bukan tempat yang istimewa bagi orang lain. Tapi bagiku dan teman-teman masa kecilku, tempat ini lebih istimewa dari taman mini indonesia indah di Jakarta sana. Tempat ini menyenangkan. Tempat kami melepas segala penat, menumpahkan gelak-tawa, tempat berbagi kesenangan dan kadang perseteruan-perseteruan kecil. Dulu tempat ini begitu istimewa bagi kami dan sampai sekarang aku masih menganggapnya istimewa. Karena tempat ini merekam begitu banyak kenangan.

Aku berdiri di tengah lapangan. Mengedarkan pandangan. Tempat ini masih sama. Di sisi kanan sana masih berdiri kokoh beberapa pohon jati yang meneduhkan lapangan. Kemudian dua pohon jambu itu masih berada di tempatnya seperti dulu, di pojok utara lapangan. Mereka tampak lebih kokoh sekarang, dan sedang memamerkan kuncup bunga-bunganya, bakal calon buah jambu. Dulu aku yang paling semangat berburu buah jambu di pohon itu.
Aku menghela nafas lega. Syukurlah, aku masih bisa menemukan tempat ini. Tapi, sebentar... Ada yang aneh dengan tempat ini sekarang. Kuedarkan pandanganku sekali lagi, memastikan.


Sepi.

Tempat ini begitu sepi. Hanya ada aku. Bagaimana bisa? Ini aneh.
Bentuk fisik tempat ini memang tak banyak berubah seperti yang terakhir kulihat tiga tahun lalu. Tapi bagaimana bisa tempat ini sesepi ini? Aku masih ingat betul setiap pagi dan sore hari tempat ini tak pernah sepi dari bocah-bocah kecil sampai para remaja. Mereka, termasuk aku dan kawan-kawanku selalu bermain dan meramaikan tempat ini, dulu. Di ujung sana adalah tempat para bocah bermain gobak sodor, egrang, lompat tali, kelereng . Di sisi pohon-pohon jati itu biasanya anak-anak bermain benteng atau petak umpet. Dan di sebelah sana adalah tempat para remaja desa bermain sepak bola.

Tapi sekarang? Semua sisi lapangan ini sepi. Tidak ada anak-anak yang bermain gobak sodor, lompat tali , benteng, kelereng, petak umpet, egrang, atau permainan lainnya. Tak ada para remaja yang bermain sepak bola. Dan aku juga baru sadar pohon jambu yang biasa dijadikan arena memanjat pun kini sepi. Kemana mereka?  Oh, apalagi di hari minggu pagi seperti ini. Hari libur sekolah. Tempat ini pasti ramai, dulu.

Ah, apakah aku salah menyangka hari? Apakah ini bukan hari minggu? Apakah anak-anak dan para remaja itu telah pergi ke sekolah sepagi ini? Aku membuka ponsel memastikan ini hari apa. Dan ternyata aku tak salah, ini memang hari minggu. Tapi kemana mereka?

Apakah tempat ini sudah tak menarik lagi bagi anak-anak dan remaja desaku ini? Atau ada sesuatu yang membuat mereka tidak bisa datang hari ini? Entahlah, kebingunganku tak terjawab.

Ah, tempat ini begitu istimewa bagiku dan kawan-kawan masa kecilku. Kami begitu akrab dengan tempat ini. Dari kecil hingga kami menginjak bangku sekolah SD, SMP, dan SMA kami anak-anak desa selalu bermain bersama di tempat ini. Tempat ini menyatukan kami. Tempat ini yang memberikan ruang kebahagiaan pada masa kecil kami. Tempat ini yang mengajarkan bagaimana indahnya kebersamaan, bagaimana perbedaan tidak menghalangi kami untuk bermain dan tertawa bersama...

Ah, begitu banyak kisah yang ingin kuceritakan tentang  tempat ini. Bagiku, tempat ini istimewa, dulu, sekarang, dan selamanya. Dan seharusnya sekarang tempat ini juga istimewa bagi anak-anak dan remaja desaku ini.
                        Akhirnya aku memutuskan untuk pulang saja. Ada kekecewaan mengganjal dalam dada. Ketika hendak berangkat ke tempat ini tadi, aku membayangkan betapa serunya anak-anak serta remaja desa sedang berkumpul dan bermain di tempat ini. Seperti yang aku dan kawan-kawanku lakukan dulu. Aku ingin melihat suka-cita itu. Aku ingin semacam bernostalgia. Tapi nyatanya tempat ini sepi.

            Kulangkahkan kakiku meninggalkan tempat ini dengan lesu. Aku berniat kembali ke rumah. Tapi setengah perjalanan lagi menuju rumah, aku berhenti dan berbalik arah. Tidak, aku tidak berniat kembali ke lapangan itu. Aku ingin ke tempat lain. Rumah Wulan dan Robi. Rumah mereka tak jauh dari lapangan itu.

            Wulan dan Robi dua bersaudara, mereka anak dari adik bungsu ibuku. Terakhir bertemu, mereka berusia sepuluh dan enam tahun. Dan aku ingat betul mereka berdua termasuk dari sekian bocah-bocah yang selalu bermain di lapangan itu. Ya, Wulan paling gemar bermain petak umpet dan lompat tali. Sedangkan Robi, dia paling semangat ketika menyelinap dan membuat rusuh permainan sepak bolaku dan kawan-kawanku.

            Wulan dan Robi pasti tahu sesuatu. Mereka pasti tahu mengapa pagi ini lapangan itu begitu sepi. Aku sampai di depan rumah mereka. Setelah mengucap salam dan mengetuk pintu, aku langsung membuka pintu dan masuk. Aku menuju ruang tengah.

            “Wah, mas Edho? Mas Edho pulang kampung. Jadi bener apa yang ibu bilang tadi,” ucap Wulan setengah berteriak. Gadis itu kemudian beranjak dari kursinya dan menyalamiku.

            “Iya. Kemarin sore nyampe rumah. Eh mana paman sama bibi?” Aku bertanya sambil duduk di sofa.

            “Ayah sama Ibu pergi kerumah Nenek pagi-pagi tadi,” jawab Wulan. Gadis belia itu kini kembali ke tempat duduknya tadi. Kemudian mengambil sebuah netbook dan memangkunya. “Oia, si Robi juga ada di rumah kok. Dia ada di kamar. Robiiii... Ada mas Edho nih. Dia udah pulang dari Sumatra loooh!” Wulan berteriak memanggil adiknya.

            “Wah, Mas Edho...! Oleh-olehnya dong, Mas. Hehehe...” Robi keluar kamar menujuku sambil cengengesan.

            “Wah, kau sudah besar Robi. Sayang sekali aku tadi ke sini nggak bawa sesuatu. Tapi di rumah ada oleh-oleh buat kalian berdua kok.” Aku mengacak-acak rambut Robi.

            “Asiiik!” Robi berteriak senang dan duduk di sebelahku.

            “Eh, hari minggu gini kok kalian di rumah aja? Nggak maen ke luar?” aku mulai mencari keterangan.

            “Ah, males Mas. Mending di rumah aja. Nge-tweet sama FB-an, seru!” jawab Wulan masih sambil memangku netbooknya. Kedua matanya tak lepas dari layar netbook itu.

            Keningku berkerut. Aku coba melongok ke arah layar netbook Wulan. Ah, kukira dia sedang mengerjakan tugas sekolah atau apa, ternyata dia sedang asyik dengan jejaring sosial.

            “Iya, Mas. Daripada capek-capek maen di luar mending di rumah aja. Maen game on line, nonton video, internetan. Asik lah pokoknya. Hehe.” Robi menambahkan sambil cengengesan.

            Lidahku kelu. Entah apa yang harus kukatakan kepada mereka.

          “Oh ya Mas, aku ke kamar dulu ya. Mau maen game online lagi. Mas, mau ikut?” Robi menawarlan sambil beranjak dari sofa. Aku hanya menggeleng dan dia langsung meluncur ke kamarnya.

            “Ehm, Wulan... Aku pulang dulu ya. Ntar salam ke paman dan bibi.” Aku pamit pulang. Rasanya campur aduk dan aku tak bisa berkata lebih dari ini.

            Wulan menoleh tanpa beranjak dari kursinya. “Kok cepet Mas? Nggak sarapan atau minum dulu?”

            Aku menggeleng.

            Keluar dari rumah Wulan, bukannya pulang ke rumah, langkah kakiku malah membawaku menuju lapangan itu lagi. Antara rumah Wulan dan lapangan itu hanya terpisah beberapa rumah saja.

            Kuedarkan pandanganku ke arah rumah-rumah di sepanjang jalan menuju lapangan. Kupelankan langkahku. Pandangan mataku masuk menyelinap ke dalam rumah-rumah itu melalui jendela atau pintu yang terbuka. Kuamati.

            Dari celah jendela atau pintu yang terbuka bisa kulihat dua atau tiga anak-anak dan remaja sedang asik melakukan sesuatu. Mereka duduk menghadap sesuatu, saling diam seperti sibuk sendiri-sendiri. Sesekali terdengar teriakan mereka. Terkadang teriakan kemenangan dan juga teriakan kekecewaan. Kemudian hening lagi, mereka sibuk sendiri-sendiri lagi.

            Sedang apa mereka? Kuhentikan langkahku. Kuamati lebih cermat. Terlihat mereka masing-masing duduk menghadap sebuah layar, terpampang gambar gerak warna-warni di layar itu. Ah, aku sadar. Mereka sedang asyik bermain game, ada juga yang sedang menjelajah jejaring sosial.

Aku menghela nafas dan melanjutkan langkah. Ya, mereka anak-anak dan para remaja itu sedang asyik bermain di rumah masing-masing. Bermain dengan layar ajaib di depan mereka. Entah sudah sejauh mana mereka telah tersedot ke dalam dunia ‘asing’ itu.

            Langkah kakiku sudah membawa diriku di lapangan itu lagi. Kemudian aku berjalan menuju pojok lapangan, tempat dua pohon jambu. Aku duduk bersandar pada salah satu pohon. Dadaku sesak.

            Kuhela sebuah nafas berat. Mataku menatap lekat-lekat ke depan. Dari posisi ini aku bisa melihat setiap sisi lapangan. Setiap sisi lapangan yang selalu penuh dengan keceriaan anak-anak dan remaja desa ini. Setiap sisi lapangan yang selalu dipenuhi canda-tawa  menggema. Itu dulu. Dan kenyataannya, kini hanya sepi yang sudi menemani lapangan ini.

            Ah, andai lapangan ini bisa berbicara, pasti kini ia sedang menangis. Meratapi anak-anak dan remaja desa ini yang telah diculik. Diculik oleh dunia ‘asing’ itu.(*)
[hanifadyputra, pernah dimuat di pmiigadjahmada.wordpress.com]

untuk mengenang suatu masa yang tak terlupakan.
ketika senyuman merekah tak mengenal musim.
saat tawa pecah tanpa melihat gundah.
saat kemurnian jiwa terpantul dalam beningnya cahaya mata.
saat di mana tak ada ruang untuk kemunafikan.
ketika semuanya begitu sederhana dan indah.

aku merindukanmu,
bermain dan tertawa bersama

masa kecil...

 


           

Minggu, 18 Maret 2012

shocking gempa yang membuat kami panik kemudian tertawa

pagi ini seperti senin pagi biasanya. saya tidak bisa berlama-lama meringkuk di balik selimut selepas shubuh, karena  jam sembilan pagi ada kuliah hukum pajak
kuliah hukum pajak untuk kali keduanya (alias coba lagi).
mengulang mata kuliah bukanlah hal yg menyenangkan. sekelas dengan para adik tingkat. masuk dalam list angkatan tua. nomor presensi ada di bagian awal-awal (yg berimplikasi pada seringnya ditanya oleh dosen -___-). dan itu semua bukan hal yang membuat saya sujud syukur bahagia.

tapi saya toh tetap ngampus tadi pagi.
sampai di kelas, sang dosen baru datang 15 menit dari jadwal seharusnya.
kuliah pun dimulai, dan saya mulai mengantuk.
beberapa kali melirik jam dinding yang sepertinya baterenya mulai  habis. lambat benar waktu berjalan!
lima menit berlalu, dan saya masih mengantuk.
saya membolak-balik slide tahun kemaren saya, tanpa benar2 membacanya. berharap ini bisa mengusir rasa kantuk.

dan tiba-tiba kursi saya bergetar! lantai yang saya injak juga bergetar!

sial, ini gempa! dan saya sedang berada di ruang kuliah, di lantai tiga gedung IV FH UGM.

oke, tenang. ini bukan kali pertama saya mengalami sensasi gempa di kelas.
tapi tiba2 saya merasakan aura kepanikan di kelas. saya melihat ke depan. mendapati sang dosen spontan berlari tunggang langgang. tanpa memperdulikan apa2. meninggalkan kunci mobilnya, daftar presensi, juga meninggalkan kami para mahasiswa yg tercengangmelihat beliau.
ya, kami tercengang sekaligus panik.
beberapa detik kemudian, getaran gempa mulai mereda. dan kami sekelas mulai tertawa tak tertahankan.
mengingat kepanikan dosen kami tadi.
kami tertawa, dan beliau tak kunjung kembali ke kelas. beliau lari, pergi entah kemana.
saya berjalan ke luar jelas. melihat keadaan. saya tengok kelas2 lainnya tampak tenang2 saja.
hanya kelas kami yg 'kacau balau'. kelas lain masih tetap melanjutkan aktivitas belajar mengajar.

oke, kelas kami yg terlampau dramatis.

saya berharap  kuliah di kelas kami dibubarkan. :)
tapi ternyata beberapa menit kemudian sang dosen kembali masuk kelas lagi, dengan wajah berkeringat.
kami menahan tawa mati-matian.

dan kuliah pun dilanjutkan kembali. dan saya kembali mengantuk lagi dan beberapa kali melirik jam dinding yg jarumnya kembali melambat.

*********************************

kejadian gempa 'ringan' saat sedang berlangsung kuliah di kelas memang lumayan sering saya alami. Segala puji bagi Tuhan, dari sekian gempa itu tidak ada yang sampai menimbulkan kerusakan fisik atau korban luka.

mengingat gempa di kelas pajak tadi pagi, saya jadi teringat dengan peristiwa yg sama, sekitar  3 tahun yg lalu. saat semester pertama saya.
sore itu, tak lama setelah kuliah Pengantar Hukum Indonesia (PHI) dimualai, tiba2 kursi kami bergetar. layar LCD di depan kelas pun bergoyang-goyang. dan ibu dosen kami langsung berteriak, "gempa! gempa...!"
kami panik. ya kami mahasiswa baru dan ini kali pertama kami merasakan sensasi gempa di dalam kelas.
saat itu kami langsung menghambur keluar kelas. di koridor kelas kami mendapati mahasiswa2 dari kelas lain yg  juga sedang mengalami sensasi panic at the disco. hahahah.

**************

Mengais-ngais ilmu di bumi jogja memang seru. selain khazanah kebudayaannya yg eksotis dan lingkungan yg ramah, sensasi gempa juga turut memacu adrenalin saya.

oke, tidak ada yg tahu hari esok akan seperti apa. kami teguhkan niat menuntut ilmu di tanah rantau ini, dan Tuhan yg akan melindungi kami. :)



Sabtu, 17 Maret 2012

binatang yang kehilangan 'kebinatangannya'

well sebenarnya saya ingin membuat postingan di malam minggu, tapi ternyata ini sudah minggu dini hari rupanya. :) oke, anggap saja ini masih sabtu malam minggu. :p

seharusnya malam ini menjadi malam yang penuh semangat mengingat besok tidak ada aktifitas yang disebut kuliah. :D
tapi yang terjadi malah saya mengalami semacam trance, kondisi antara sadar dan tidak. malas ngapa-ngapain, malas keluar, dan bahkan malas untuk tidur pula. karena itu lah saya menolak ajakan teman-teman untuk pergi ke Cak Nun (Ma'iyahan tiap tgl 17) dan tidak tertarik pula dengan ajakan karaokean. malam ini saya ingin sibuk tidak ngapa-ngapain alias do nothing. hhh... tidak produktif bgt ya, hahaha.

mungkin ini efek samping akibat aktifitas seharian yang melelahkan.

pergi ke kebun binatang. (*_*) tepatnya ke kebun binatang gembira loka jogja.

percaya atau tidak, tiga tahun lebih tinggal di jogja, baru kali ini saya bertandang ke markas para satwa itu. itu pun di luar rencana, mendadak. ckckkck.

ceritanya, siang tadi saya memutuskan pergi ke sekretariat Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII Komsat Gadjah Mada), karena di kontrakan sepi, garing. tidak ada makhluk selain saya (eh, mungkin ada makhluk lain? #celingak-celinguk).

sampai di sekre pmii, ternyata keadaannya tidak jauh beda. memang ada tanda-tanda kehidupan, tapi saya hanya mendapati kang shilah dan tyan. saya pun menonton tivi sambil menikmati makan siang yang merangkap sarapan, ketika datang teman saya, Happy. Mahasiswi jurusan Hama dan Penyakit Tanaman itu mengajak saya ikut pergi ke kebun binatang gembira loka. PMII Rayon Agro Gadjah Mada sedang mengadakan acara jalan-jalan, tujuannya Kebun Binatang Gembira Loka.
saya berpikir sejenak. dan yang ada di kepala saya adalah gajah, harimau, orang utan (standart banget :p).
oke, ini ajakan yg lumayan menarik. mengingat fakta bahwa sampai detik itu saya sama sekali belum pernah berkunjung ke kebun binatang.
hei, bukannya setiap jaman TK selalu ada rekreasi, dan salah satunya ke kebun binatang?
oke, tapi saya tidak pernah mengenyam bangku TK.


jadi saya pun menerima ajakan itu. saya mengajak si tyan dan happy mengajak si niswah.
kami pun berangkat ke TKP dengan motor. para anggota rayon agro lainnya rupanya sudah tiba di TKP lebih dulu.


gustiari, niswah, abid, ida, luluk, popon, tyan, deta, roman, hassan, dan happy (yg motret)
yeah, akhirnya sampai juga saya di kebun binatang.
oke, mungkin ini tampak udik, ini adalah kali pertama saya menginjakkan kaki di kebun binatang dan usia saya sudah kepala dua.
eh, kemana saja saya selama ini? hahah.

di area parkir saya mendapati bus-bus rombongan siswa-siswi TK. Siswa-siswi TK yang bisa jadi baru pertama kali ke tempat ini [seperti saya :'( ]

okeeeeeeeeeeee,,,
kami pun berkeliling. selama berjam-jam.
mendapati berbagai spesies fauna. mulai dari mamalia, aves, amphibi, reptil, dan ikan.

selain fakta bahwa itu adalah kali pertama saya melihat hewan2 secara live (selama ini saya hanya melihat ayam, kucing, dan kambing. ahhaha), saya mendapati satu hal. hewan-hewan dalam kebun binatang itu hmmm,,, tampak aneh menurut saya

ya, aneh. menurut saya binatang-binatang itu telah kehilangan 'kebinatangan' mereka. mereka seperti telah dicuci otak untuk bersikap dan berperilaku layaknya benda tontonan. dan itu membuat saya melihat tak lebih dari lukisan-lukisan yang bergerak. itu saja. tidak ada taste 'kebinatangan' mereka.


[kalo gak salah nih ikan namanya red water melon?
outlooknya memang fresh kayak water melon :D
nyari di selokan mataram ada gak ya? :p]
[siluman harimau putih sdg galau gara2 jomblo]

           















kemudian saya merenung, hal semacam ini juga bisa dialami oleh manusia. jika binatang-binatang itu telah kehilangan 'kebinatangan' mereka, pun demikian dengan manusia. ya, manusia pun tanpa sadar bisa berhenti menjadi manusia.
seperti binatang-binatang yang ada di gembira loka itu, yang telah berhenti menjadi binatang, menurut saya.

kemudian saya bertanya pada diri saya sendiri,
apakah saya tetap menjadi manusia. manusia yang memanusiakan diri sendiri dan memanusiakan manusia lainnya?
atu jangan-jangan saya adalah manusia yang telah berhenti menjadi manusia?
                                                                                                         

naga sedang memangsa abid sang ketua pmii rayon agro
burung maleo. telurnya bisa memenuhi dua telapak
tangan orang dewasa (ngebayangin gimana kalo dijadiin nasi telor :p)

oke,,, terlepas dari kebingungan-kebingungan saya seputar kebinatangan dan kemanusiaan, agenda jalan-jalan ke Kebun Binatang Gembira Loka tadi itu cukup berhasil me-refresh otak saya.
senang rasanya berkumpul dengan teman2 dari rayon agro (walau saya bukan dari agro alias intruder dan cuma saya yg angkatan 2009 #merasa sepuh -______-).
terima kasih untuk sahabat/i agro semuanya.
hari yg menyenangkan, walau harus diakhiri dengan bergelantungan di dalam TransJogja yg penuh sesak selama hampir satu jam. :p

sukses untuk pmii rayon agro gadjah mada!
semangat sahabat/i agro! :D