Senja itu
aku bertemu kakek. Rambutnya yang putih. Juga tongkat kayu yang terlampau setia
mengiringi langkahnya. Masih sama. Sedikit yang berubah. Tatapan matanya
yang tajam, kini terlihat sayu. Sendu.
Ingin sekali aku merengkuhnya erat. Hal yang sejak lama sangat kuinginkan.
Kurindukan.
Niatku urung. Kulihat kakek menghela nafas berat. Sesak. Kemudian ia membuka
mulut keriputnya dan berucap, “Aku begitu mengkhawatirkanmu, Nak.”
Setelah sekian lama tak bersua, itulah kalimat pertamanya untukku. Kukira kakek
akan meluapkan kata-kata kerinduan. Kerinduannya kepadaku, sebagaimana aku
begitu merindukanya selama ini.
Mafhumkah ia bahwa aku sungguh menantikan kebijaksanaannya? Mengertikah ia
bahwa aku sangat ingin melihat semangat baja yang termanifestasi di usia
senjanya? Terkebih lagi, sadarkah ia bahwa aku betul-betul tak sabar menantikan
kepiawaiannya merangkai cerita sarat makna, yang dahulu pernah menghiasi masa
kanak-kanakku?
Tapi, nyatanya kakek malah mengkhawatirkanku.
“Aku begitu mengkhawatirkanmu, Nak.” Kalimat itu terucap lagi. Aku bingung. Tak
mengerti.
“Bagaimana aku tidak mengkhawatirkanmu, jika kau hidup di tengah-tengah
kegilaan ini?!” tandasnya, seakan membaca kebingungan di kepalaku.
“Ini semua gila. Bagaimana tidak? Saudara-saudaramu tidak segan-segan
menggerogoti daging sesamanya. Memamah, menelan, dan celakanya mereka sangat
menikmati itu semua,” lanjut kakek. Aku melihat nafasnya yang menyesak.
“Sungguh ini tidak waras!” Suara kakek tiba-tiba meninggi. “Lihatlah para
pemimpin tanah leluhurmu ini! Ternyata mereka tidak lebih dari babi-babi gendut
yang sibuk menghisapi sari pati gemah ripah loh jinawi negeri ini.
Mereka menimbunnya dengan begitu rapi dalam brankas rakasasa tak kasat mata.
Lalu mereka menguncinya dengan sebuah gembok yang hanya bisa dibuka dengan
sebuah kombinasi angka yang rumit. Angka-angka yang kemudian menjadi sebuah
rahasia. Mungkin rahasia negara.”
“Lebih mngenaskan lagi, ternyata para pemimpinmu itu terus-terusan khawatir.
Bukan kekhawatiran atas rakyatnya. Sama sekali bukan. Mereka khawair harta
mereka yang beronggok-onggok itu belum cukup untuk menyumpal mulut anak-cucu
mereka kelak. Anak-cucu sampai tujuh turunan, mungkin lebih. Itulah wajah para
pemimpin negerimu. Bagaimana aku bisa bertahan untuk tidak muntah bila melihat
wajah ‘polos’ mereka? Menjijikkan sekali, bukan?” Mata sendu kakek berubah
menjadi tatapan jijik. Aku diam, tidak berani mengomentari.
“Tidakkah ulu hatimu tertusuk begitu dalam saat menyaksikan carut-marut negeri
ini, Nak? Ketika pamong tanah kelahiranmu mengeruk segala kepunyaan rakyatnya,
di saat yang sama anak bangsa ini saling mencibir, menghujat, dan menikam.
Mereka menuding perbedaan sebagai akar dari segala masalah ini. Dengan
pongahnya, mereka membenarkan golongannya dan tidak lupa menyalahkan golongan
lain.” Aku melihat kepedihan dalam mata kakek.
“Kalian bersaudara, seharusnya. Tapi kalian menafikan bahwa bangsa ini terlahir
dengan berbagai suku, ras, keyakinan, dan khazanah kebudayaan. Kalian menutup
mata bahwa Tuhan menciptakan perbedaan sebagai suatu rahmat untuk semua umat
manusia, tanpa terkecuali.”
“Aku begitu mengkhawatirkanmu, Nak.” Kakek mengucapkan kalimat itu lagi.
“Berhati-hatilah. Aku tahu ini tidak mudah.”
Sedetik kemudian aku tersentak. Aku terbangun dari lelapnya tidurku di suatu
senja. Itu tadi mimpi. Ya, aku tahu itu. Bahkan aku sudah menyadarinya sejak
kakek mengucap kalimat pertamanya tadi. Karena kakek sudah lama meninggalkanku.
“Ah, hanya sebuah bunga tidur,” aku bergumam. Tetapi kemudian aku menyadari
bahwa semua yang diucapkan kakek tadi bukan sekedar bunga tidur bagi negeri
ini.(#)
#untuk
Kakek yang tak pernah saya mengenalnya dan untuk Kakek yang telah mengajarkan
banyak hal.
*dimuat
di buletin MAHKAMAH fh ugm,
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer
0 komentar:
Posting Komentar