Alumni pesantren nantinya akan
menjadi guru mengaji, orang yang dituakan, dan paling banter akan menjadi
seorang modin atau seorang ustadz di kampung halamannya. Tunggu, pernyataan itu hanyalah
potongan imajinasi saya sembilan tahun yang lalu. Saat selepas pendidikan
sekolah dasar saya hendak dibawa ke sebuah tempat bernama pesantren oleh
orangtua saya. Begitulah pandangan saya tentang pesantren waktu itu. Lantas, bagaimana
dengan sekarang? Bagaiamana saya melihat pesantren sebagai sebuah lembaga
pendidikan setelah enam tahun menjadi bagian darinya dan kemudian tiga
tahun menjadi alumni, apakah masih sama?
Setiap
orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak
mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan
teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi
kesejahteraan umat manusia. Demikianlah bunyi pasal 28 C ayat
(1) Undang-Undang Dasar Negara Republik indonesia Tahun 1945, menjelaskan bahwa
pendidikan adalah hak dari setiap warga negara Indonesia. Muatan pasal tersebut
selaras dengan apa yang diamanatkan oleh aliena empat pembukaan UUD 1945, Pemerintah
Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial. Selanjutnya tentang hak mendapatkan
pendidikan ditegaskan dalam Pasal 5 UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk
memperoleh pendidikan yang bermutu.
Meski hak
memperoleh pendidikan sudah diatur dalam undang-undang, namun kenyataannya
pendidikan belum menjangkau masyarakat Indonesia secara merata. Pendidikan
menjadi semacam angan-angan belaka bagi sebagian masyarakat kita. Tidak sedikit
dari masyarakat kita yang tidak mampu menuntaskan pendidikan formal, dan bahkan
tidak bisa mengenyam pendidikan formal sama sekali. Ketidakterjangkauan biaya
menjadi alasan menjauhnya pendidikan dari masyarakat ekonomi lemah.
Membincang
tentang hak memperoleh pendidikan, tidak terlepas dari keberadaan pesantren di
Indonesia. Berangkat dari pendidikan formal yang ternyata tidak menjangkau
sebagian golongan masyarakat, akhirnya sebuah bentuk pendidikan bernama
pendidikan non formal menjadi alternatif. Pendidikan non formal atau pendidikan
luar sekolah tumbuh, berkembang, dan dibiayai oleh masyarakat. Pendidikan non
formal menjadi semacam solusi akan kebutuhan masyarakat akan pendidikan yang
tidak terpenuhi oleh pendidikan formal. Salah satu bentuk pendidikan non formal
di indonesia adalah pesantren.
Pesantren
sendiri sudah berkiprah di indonesia jauh sebelum masa kemerdekaan Indonesia.
Bahkan menurut beberapa sumber, cikal bakal pesantren di Indonesia sudah ada
pada masa walisongo, abad 25-16 di pulau jawa. Dan saat ini keberadaannya pun
sudah menyebar di penjuru nusantara.
Pesantren sebagai
salah satu bentuk pendidikan non formal memiliki kekhasan tersendiri. Selain
fokusnya yang pada bidang keagamaan, sistem pendidikannya yang 24 jam pun
menciptakan atmosfer tersendiri. Berbeda dengan pendidikan formal yang
memberikan kepada siswa waktu 5-6 jam untuk belajar dan beraktivitas di
sekolah, pesantren mengharuskan santri untuk menetap dalam lingkungan pesantren
24 jam selama masa nyantri. Dengan sistem seperti itu terjadi interaksi
intensif dalam proses belajar antara kiai dengan santri serta santri dengan
santri.
Kemudian kembali
ke pertanyaan saya di awal tadi, bagaimana saya melihat pesantren saat ini? Apa
yang bisa dilakukan alumni pesantren? Apakah alumni pesantren mampu melakukan
‘sesuatu’ selain menjadi ustadz di kampung halaman seperti yang saya sangkakan
sembilan tahun yang lalu? Apakah selepas belajar di pesantren para santri akan
mampu mengambil peran dalam usaha mencerdaskan bangsa demi kehidupan yang lebih
baik?
Seperti yang
diungkapkan di atas, pesantren adalah bentuk pendidikan yang khas. Dan
pesantren pun mampu menghasilkan output yang khas pula, ya mereka yang disebut
santri. Ada beberapa hal menarik yang para santri dapatkan dalam proses belajar
di pesantren. Hal-hal tersebut setidaknya antara lain: kecerdasan spiritual, kemandirian,
dan kemampuan bersosialisasi.
Kecerdasan
spiritual didapatkan oleh santri melalui proses belajar-mengajar antara santri
dengan kiai maupun asatidz, atau lebih dikenal dengan istilah ngaji.
Rujukan keilmuannya pun cukup komprehensif. Meliputi inti ajaran dasar Islam
itu sendiri yang bersumber dari al-Qur'an Hadis, tokoh-tokoh ideal zaman klasik
seperti Imam Bukhari, Imam Turmudzi, serta tokoh-tokoh `ulama Jawa seperti
Nawawi al-Bantani, Mahfudz al-Tirmidzi dan lain-lain. Melalui pembelajaran yang
intensif, para santri digodok untuk menjadi generasi yang mumpuni dalam
berbagai disiplin ilmu agama, antara lain ilmu tauhid, fiqih, ilmu alat
(nahwu-shorof), dan lain-lain.
Kemandirian.
Sistem pemondokan 24 jam yang mengharuskan para santri tinggal terpisah dari
orangtua dan keluarga masing-masing, dikondisikan sedemikian rupa agar para
santri selain belajar ilmu agama juga belajar untuk hidup mandiri. Pesantren
menempa para santri--yang terdiri dari kanak-kanak hingga remaja—agar memiliki
mentalitas yang tangguh.
Kemampuan
bersosialisasi. Sebuah pesantren bisa menjadi sebuah miniatur masyarakat yang
heterogen. Dalam sebuah pesantren, santri-santrinya tidak hanya berasal dari
daerah tertentu saja. Sebuah pesantren menerima santri dari berbagai daerah di
nusantara. Kondisi santri yang heterogen dan sistem hidup bersama 24 jam dalam
sebuah pemondokan, menuntut para santri agar memiliki kemampuan bersosialisai
yang baik dengan orang-orang yang mempunyai kultur dan karakteristik
berbeda-beda. Kemampuan ini menjadi modal yang penting bagi santri ketika
terjun dalam masyarakat yang sesungguhnya kelak.
Selain
mentransfer ketiga kemampuan tersebut, pesantren hari ini pun tidak menutup
mata akan kebutuhan akan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tidak sedikit
pesantren yang menyediakan akses kepada para santrinya untuk mendalami berbagai
disiplin ilmu modern serta teknologi. Kemampuan berbahasa asing pun tidak
ketinggalan. Berbagai bahasa asing seperti Bahasa Arab, Bahasa Inggris, dan
Bahasa Mandarin dipelajari di berbagai pesantren.
Berbekal hal-hal
tersebut, keberadaan warga pesantren tidak bisa dipandang sebelah mata. Bahkan
negara-negaralain di dunia pun menyadari potensi yang dimiliki pesantren. Salah
satunya Jepang. Pada 24 januari hingga 4 februari pemerintah Jepang mengundang
11 ustadz pesantren Indonesia dalam rangka pendalaman rasa saling pengertin
Jepang dan Islam Indonesia. Kedubes Jepang di Jakarta menuturkan bahwa kegiatan
tersebut adalaha cara untuk mendorong saling pemahaman dan pertukaran antara
Jepang dan Indonesia di bidang pendidikan dengan mengundang para guru
pesantren, yang merupakan tokoh pemimpin dari berbagai wilayah di Indonesia.
Pada 2012, program ini memasuki tahun ke-8 dan hingga penyelenggaraan yang ke-7
kalinya sebanyak 82 guru pesantren telah berkunjung ke Jepang.
Pesantren hari
ini bukan sekedar tempat untuk memperkaya ilmu keagamaan saja. Pesantren pun
memiliki potensi dan andil dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa demi
terciptanya masyarakat yang sejahtera.
Namun yang
senantia harus diingat, bahwa sebagai bentuk pendidikan non formal, pesantren
harus senantiasa melayani kebutuhan masyarakat akan pendidikan. Melayani
masyarakat yang tidak mampu menjangkau pendidikan formal karena keterbatasan
biaya. Dan jika pesantren ingin benar-benar melayani dan dicintai masyarakat,
maka pesantren harus berani mengambil hal-hal yang baik dari apa yang tumbuh di
masyarakat dan kemudian diperkaya dengan sentuhan-sentuhan yang sistematis
dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sesuai dengan lingkungan masyarakatnya.
Serta yang tidak kalah penting adalah keterjangkauan biaya. Jangan sampai
sebuah pesantren menjadi semacam kaki tangan kapitalis yang hanya membuka pintu
untuk masyarakat yang mempunyai modal besar saja.
Kemudian para
santri yang merupakan output dari proses pembelajaran dari lembaga
pendidikan non formal bernama pesantren juga harus memiliki tekad
yang kuat untuk turut serta mencerdaskan kehidupan bangsa. Selepas nyantri, para
santri seyogyanya turut mengambil peran dalam usaha mewujudkan kesejahteraan
kehidupan masyarakat. Santri harus mempunyai semangat mengabdi dan keberpihakan
pada masyarakat yang terpinggirkan.*
*dimuat di majalah sarung css mora
ugm