Kurapatkan jaket coklat tua yang membungkus tubuhku. Awal musim penghujan seperti ini membuatku sulit lepas dari jaket tebal ini. Dingin. Sepertinya tubuhku terlampau lambat beradaptasi dengan hawa dingin.
Sebenarnya aku ada janji dengan Thomi dan Chu Ngok selepas isya’ ini. Dua
sahabatku itu mengajak pergi ke rental kaset, berburu film-film baru. Tapi
untuk saat ini, itu bukan ide yang bagus. Hujan di luar terus menderas sejak
maghrib tadi. Sepertinya aku harus membatalkan janji itu.
Hsss!
Kumatikan layar televisi dan melempar remote control sekenanya.
Kecewa dengan stasiun-stasiun televisi yang menayangkan acara seragam dan tidak
tentu arah. Aku segera beranjak menuju kamarku. Lebih baik aku tidur lebih awal
hari ini. Toh, besok adalah hari minggu. Tidak ada sekolah, tidak ada PR yang
harus diselesaikan.
Aku sudah berada di kamarku dan
mendapati ada makhluk lain di sana. Sepertinya ada makhluk asing menyelinap di
kamarku. Makhluk-makhluk mungil dengan sayap tipis coklat pucat. Mereka
berterbangan berebut sinar lampu kamarku yang menyala terang. Sebagian di
antara mereka tampak merayap di tembok, lantai, dan bahkan beberapa di
anatarnya merambat naik ke atas tempat tidurku!
Aku bisa
saja langsung menekan saklar di tembok, mematikan nyala lampu agar laron-laron
itu pergi dari kamarku. Tapi aku tidak melakukannya. Entah mengapa aku tertarik
dengan aktivitas para makhluk mungil itu. Kurebahkan tubuhku di atas tempat
tidur, dan mulai mengamati laron-laron yang masih berterbangan ke sana kemari.
Kemudian pandanganku tersedot pada
laron-laron yang mengitari bola lampu yang menggantung di atap kamar, tepat di
atas kepalaku. Laron-laron itu terus berputar-putar. Eh, mereka sepertinya
sedang menari. Mereka menari mengikuti irama hujan di luar, terbang
berputar-putar membentuk semacam pusaran yang tampak indah. Hei, sepertinya
mereka tampak bahagia. Aku pun tersenyum melihat mereka. Bermenit-menit aku
terus mengawasi mereka seperti itu.
Hah! Aku tersentak kaget. Beberapa laron itu tiba-tiba terjatuh tepat di atas
tubuhku. Hati-hati kuambil satu di antara mereka, yang jatuh tepat di leherku.
Kuamati seekor laron dalam telapak tanganku ini. Dia diam. Kubalik tubuhnya
perlahan. Tetap diam, tak berkutik. Eh, apakah dia sudah mati? Benar-benar
mati?
Secepat
itukah? Baru saja mereka menari-nari bahagia di atas kepalaku. Baru saja, dan
kini mereka sudah membeku, tidak bernyawa.
Entah
mengapa aku merasa tubuhku, ehm merinding? Tiba-tiba diriku dijalari sesuatu
yang disebut rasa takut yang aneh. Ada apa ini?
Aku menghirup nafas dalam-dalam kemudian
menghembuskannya pelan...
Tenang...
Mereka juga makhluk hidup. Wajar jika pada akhirnya mereka mati. Aku
mencoba menenangkan diri.
Hei,
tunggu! Makhluk? Dan aku juga makhluk hidup. Dan wajar bila... Wajar bila aku
akan mati seperti laron-laron itu? Mati begitu saja...
Yah,
pada akhirnya semua yang hidup akan mati. Mati dan itu wajar? Tidaaak!
Aku belum siap mati! Aku belum siap meninggalkan ayah dan ibu untuk
selama-lamanya. Tidak, aku belum siap untuk itu. Masih terlalu banyak kesalahan
yang kutorehkan kepada mereka. Dan masih banyak mimpi-mimpi yang ingin kucapai! Tiba-tiba
terdengar suara-suara panik dalam kepalaku. Aaaarght!
Beberapa laron itu kembali berjatuhan
menimpa tubuhku.
Hah!
Kenapa aku jadi ketakutan seperti ini? Entah mengapa, melihat laron-laron yang
berjatuhan itu aku seperti melihat malaikat maut yang diam-diam membuntutiku,
mengintaiku.
Tuhan,
tolong jangan ambil nyawaku, Aku bahkan masih 14 tahun. Bukankah aku masih
terlalu muda, Tuhan? Aku ingin berteriak tetapi tak ada sepotong kata
pun yang mampu keluar dari mulutku. Bibirku hanya bergetar. Ya Tuhan kenapa kau
buat aku sedemikian ketakutan seperti ini?
Urght! Tiba-tiba hatiku ngilu. Aku
memang masih 14 tahun, tapi bagaimana dengan Lia? Aku tiba-tiba teringat dengan
Lia, bocah 5 tahun tetanggaku yang tiba-tiba meninggal seminggu yang lalu.
Malaikat maut tidak melihat umur seseorang ternyata.
Aku
masih ingat, ibu dari bocah malang itu menjerit-jerit saat tubuh Lia yang
terbungkus kain kafan dimasukkan ke dalam liang lahat. Dan bagaimana jika aku
yang harus memakai kain putih itu kemudian dikubur dalam liang lahat yang gelap
dan dingin! Ya Tuhan, aku belum siap.
Bagaimana jika ternyata malam ini juga aku harus pergi menyusul Lia?
Meninggalkan semuanya. Ayah ibu, sahabat-sahabatku Thomi, Chu Ngok, Maria dan
semuanya...
Ah,
bagaimana dengan Diana? Kemarin aku membentaknya, hanya gara-gara gadis centil
itu terus mencari perhatianku. Tuhan, aku belum meminta maaf kepadanya.
Dan
Adella, aku belum sempat mengungkapkan perasaanku kepadanya. Aku masih
mengumpulkan nyaliku untuk itu.
Laron-laron itu kembali berjatuhan.
Tuhan,
apakah akau akan segera mati seperti laron-laron kecil ini? Padahal baru dua
minggu kemarin usiaku bertambah satu tahun. Aku merayakannya begitu meriah.
Semua memberi ucapan selamat dan mendoakanku.
Sebentar, usiaku bertambah? Ah, aku tak yakin usiaku benar-benar bertambah.
Bukankah yang terjadi adalah jatah usiaku berkurang satu tahun? Bukankah setiap
yang bernafas telah digariskan berapa jatah usianya di dunia ini. Sial. Kenapa
aku baru menyadarinya.
Ya Tuhan, ya Tuhan... Kenapa aku baru
menyadari semua ini?
Semakin
banyak laron-laron yang berjatuhan di atas tubuhku.
Tuhan,
laron-laron kecil ini kah teguran dari-Mu?
Aku
memejamkan mata perlahan. Dan bila esok hari mata ini masih diberi kesempatan
untuk menyaksikan bukti-bukti keagungan-Nya, aku tidak akan
menyia-nyiakannya.(*)
(by; hanifadyputra. Tulisan lama. Kebetulan pernah dimuat di sebuah majalah
lokal Mojokerto)
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer
10 komentar:
seperti kira, tulisanmu penuh hikmah
salam kenal ya hanif :)
kalo kata mas Kira, tulisan ini dibuat ketika om Juned masih sekolah ya?? waw, amazing.. ternyata kalian penulis-penulis hebat.. dhe suka tulisannya, suka dengan maksud yang disampaikan.. mengalir, santai dan tidak menggurui.. keep blogging ya om!! semoga makin semangat ngeblognya..
salam manis dari Palembang :)
merinding bacanya... bagus banget tulisannya. suka. sy bs bljr sm Juned deh. lam kenal ya....... :)
Laron yang memberi banyak pelajaran yg bisa kita 'baca'...great. tulisannya mengalir natural dan impresive..Salam kenal, 'nyasar' setelah mampir dari rumahnya MAs KIra
Tau blog ini dari temenmu Kira, Mas! Membaca tulisan ini benar-benar menggugah hati. Dan isi kepalaku tiba-tiba penuh dengan tulisan -mati-. Iya, bagaimana jika aku mati begitu cepat? Aku belum siap. Tapi toh semua ada garisnya masing-masing. Tidak perlu cemas.
Oh iya, aku mau jadi follower blog ini, tapi uumm... lewat mana, ya?? Oh iya, ini ada link kalau mau ganti template yang lebih keren
http://templatehelp4u.blogspot.com/
Selamat mencoba, Mas Juned :)! Aku tunggu kunjungan baliknya
terimakasih sudah mampir alia, :) salam kenal... :)
semoga tulisan sederhana ini memberi 'sesuatu yang bermanfaat untuk ita semua. :)'
salam kenal,, :)
iya, setiap dari kita elah ditentukan garisnya masing2. kematian adalah sebuah keniscayaan, kita tak perlu cemas. yang perlu kita lakukan adalah terus berusaha memperbaiki diri, sekecil apapun usaha itu, asal kita tak pernah berhenti. :)
terimakasih link nya :)
terima kasih. salam kenal :)
terimakasih. :) saya juga masih belajar. saya harus belajar banyak dari teman2 semua... :)
salam kenal
terimakasih... :)
salam kenal :)
saya masih dalam tahap belajar. mohon kritik dan saran dari teman2 semua :)
wah palembang, jadi ingat nikmatnya pempek yang dimakan di musim hujan :)
Posting Komentar